Friday 19 December 2014

BBM NAIK Rp. 2000, KOK RIBUT?

Serba serbi komentar menanggapi kenaikan BBM masih saja terdengar di ruang-ruang publik. Di media-media sosial misalnya, perang komentar yang pro dan kontra kenaikan terus saja terjadi sampai hari ini.

Istilah-istilah seperti “salam gigit jari”, “salam dua ribu” menjadi trading topic di media sosial seperti twitter dan facebook. Istilah-istilah ini dihembuskan yang kontra kenaikan BBM dan kemungkinan dulunya tidak memilih presiden Jokowi-Jk sebagai pilihan politiknya. Pendukung kebijakan presiden-pun tidak kalah defensive mengatasi serangan, misalnya muncul ungkapan “naik Rp. 2000 saja kok ribut” atau “harga rokok naik tidak ribut, kok harga BBM naik ribut” dan seterusnya.

Kalangan intelektual yang mendukung kebijakan tidak popular ini bahkan masih ada yang menyepelekan kenaikan harga BBM Rp. 2000. Alasannya cukup rasional, Negara butuh banyak infrastruktur pendidikan dan kesehatan dari pada habis dibakar, digunakan sia-sia untuk subsidi BBM.

Analogi Pak Mamat Tukang Kebun
Dalam menyederhanakan perumpamaan, kita analogikan kehidupan Pak Mamat yang bekerja sebagai tukang kebun. Pak Mamat adalah rakyat kecil yang akan mengalami langsung dari kenaikan BBM.

Pak Mamat punya tiga orang anak, dan ketiga-tiganya masih duduk dibangku sekolah. Kebutuhan sekolah anak-anak, mulai dari baju seragam, perlengkapan tulis sampai uang jajan harus dipenuhi pak Mamat. Sebagai penopang kebutuhan rumah tangga, syukurnya pak Mamat dibantu istri berjualan kue di kampungnya.

Sebelumnya dengan pendapatan yang pas-pasan Pak Mamat sesekali mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya, dengan membeli telur, susu dan kebutuhan lain. Karena pendapatan dari berkebun tidak seberapa, namun penghasilan istri yang berjualan kue sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan sabun mandi, sabun cuci, kebutuhan dapur dan seterusnya.

Tiba-tiba harga BBM naik Rp. 2000. Pak Mamat menjadi pusing mengatur kembali pembelanjaan rumah tangganya. Bila hanya BBM saja naik Rp. 2000 tidak jadi soal, masalahnya kenaikan itu mendorong semua barang kebutuhan menjadi melonjak naik.

Pak Mamat bingung, jangankan untuk memenuhi gizi kelurga dengan membeli telur dan susu, untuk beli makanan pokok saja menjadi susah. Pak Mamat bertanya pada pedagang, kenapa harus naik harganya? Pedagang menjawab, karena BBM naik pak, apa urusannya BBM naik dengannya naiknya harga telur, susu dan lain-lain, kata pak Mamat. Telur dan susu inikan adanya di kampung sebelah pak, untuk diangkut kesini kan pakai transport, biaya transport kan naik karena BBM naik.

Di samping itu ayam Ras yang menghasilkan telur inikan butuh pakan. Pakannya dijual oleh perusahaan di kampung sebelahnya lagi, sehingga mendatangkan pakan juga harus pakai transport. Dengar-dengar, di perusahaan pakan juga sedang masalah pak, soalnya pengolahan pakan masih gunakan BBM untuk produksi, sementara BBMkan naik, belum lagi karyawan nuntut naik gaji. Maka satu-satunya jalan kalau perusahaan rasional adalah menaikan harga produknya, yaitu untuk memenuhi naiknya biaya produksi dan upah karyawan.

Semua barang kebutuhan sehari-hari pak Mamat nasibnya sama dengan produk telur di atas. Sehingga, harga sabun mandi, sabun cuci, harga beras, sayur, kebutuhan anak-anak sekolah semua menjadi naik gara-gara Rp. 2000 rupiah.

Nasib Bu Mamat tidak kalah pelik. Harga-harga kebutuhan untuk buat kue sekarang melonjak naik. Bu mamat mau tidak mau harus menaikan harga jualan kuenya. Sementara langganan bu Mamat juga mengalami persoalan ekonomi yang sama dengannya. Boro-boro beli kue, untuk beli makanan pokok saja sekarang kesulitan, sehingga Bu Mamat mengurangi penjualan kuenya.

Ada Bantuan Tunai
Pak Mamat diberi tahu bahwa akan ada kompensasi dari kenaikan BBM itu dari pemerintah. Namun setelah dihitung uang kompensasi itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan satu bulan, dengan pengiritan di sana sini. Uangnya sebagian disisihkan Bu Mamat untuk modal beli bahan pembuatan kue. Masalahnya, langganan Bu Mamat tidak lagi mampu membeli kue sebanyak sebelum BBM naik.

Dari waktu-kewaktu masalah kenaikan harga BBM tidak lagi ramai dibicarakan orang. Di televisi yang biasanya ramai bahas BBM sekarang tidak lagi. Mungkin bagi TV tidak menarik lagi, masalah BBM sudah sering diulang.

Sepinya pembahasan orang akan kenaikan Rp. 2000 harga BBM, bukan berarti kehidupan pak Mamat kembali seperti semula. Pak Mamat yang bekerja sebagai tukang kebun harus banting tulang memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan bekerja pada bidang lain. Sehingga Pak Mamat sering sakit-sakitan karena kecapaian.


Pak Mamat masih bisa bersyukur masih bisa bekerja memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang halal. Beberapa hari yang lalu, tetangga pak Mamat babak belur digebukin masa karena kepergok sedang mencuri di salah satu toko elektronik. Ketika ditanya alasannya mencuri, jawabnya karena terdesak kebutuhan rumah tangga. Sementara dia hanya sebagai buruh bangunan.Serba serbi komentar menanggapi kenaikan BBM masih saja terdengar di ruang-ruang publik. Di media-media sosial misalnya, perang komentar yang pro dan kontra kenaikan terus saja terjadi sampai hari ini.

Istilah-istilah seperti “salam gigit jari”, “salam dua ribu” menjadi trading topic di media sosial seperti twitter dan facebook. Istilah-istilah ini dihembuskan yang kontra kenaikan BBM dan kemungkinan dulunya tidak memilih presiden Jokowi-Jk sebagai pilihan politiknya. Pendukung kebijakan presiden-pun tidak kalah defensive mengatasi serangan, misalnya muncul ungkapan “naik Rp. 2000 saja kok ribut” atau “harga rokok naik tidak ribut, kok harga BBM naik ribut” dan seterusnya.

Kalangan intelektual yang mendukung kebijakan tidak popular ini bahkan masih ada yang menyepelekan kenaikan harga BBM Rp. 2000. Alasannya cukup rasional, Negara butuh banyak infrastruktur pendidikan dan kesehatan dari pada habis dibakar, digunakan sia-sia untuk subsidi BBM.

Analogi Pak Mamat Tukang Kebun
Dalam menyederhanakan perumpamaan, kita analogikan kehidupan Pak Mamat yang bekerja sebagai tukang kebun. Pak Mamat adalah rakyat kecil yang akan mengalami langsung dari kenaikan BBM.

Pak Mamat punya tiga orang anak, dan ketiga-tiganya masih duduk dibangku sekolah. Kebutuhan sekolah anak-anak, mulai dari baju seragam, perlengkapan tulis sampai uang jajan harus dipenuhi pak Mamat. Sebagai penopang kebutuhan rumah tangga, syukurnya pak Mamat dibantu istri berjualan kue di kampungnya.

Sebelumnya dengan pendapatan yang pas-pasan Pak Mamat sesekali mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya, dengan membeli telur, susu dan kebutuhan lain. Karena pendapatan dari berkebun tidak seberapa, namun penghasilan istri yang berjualan kue sangat membantu untuk memenuhi kebutuhan sabun mandi, sabun cuci, kebutuhan dapur dan seterusnya.

Tiba-tiba harga BBM naik Rp. 2000. Pak Mamat menjadi pusing mengatur kembali pembelanjaan rumah tangganya. Bila hanya BBM saja naik Rp. 2000 tidak jadi soal, masalahnya kenaikan itu mendorong semua barang kebutuhan menjadi melonjak naik.

Pak Mamat bingung, jangankan untuk memenuhi gizi kelurga dengan membeli telur dan susu, untuk beli makanan pokok saja menjadi susah. Pak Mamat bertanya pada pedagang, kenapa harus naik harganya? Pedagang menjawab, karena BBM naik pak, apa urusannya BBM naik dengannya naiknya harga telur, susu dan lain-lain, kata pak Mamat. Telur dan susu inikan adanya di kampung sebelah pak, untuk diangkut kesini kan pakai transport, biaya transport kan naik karena BBM naik.

Di samping itu ayam Ras yang menghasilkan telur inikan butuh pakan. Pakannya dijual oleh perusahaan di kampung sebelahnya lagi, sehingga mendatangkan pakan juga harus pakai transport. Dengar-dengar, di perusahaan pakan juga sedang masalah pak, soalnya pengolahan pakan masih gunakan BBM untuk produksi, sementara BBMkan naik, belum lagi karyawan nuntut naik gaji. Maka satu-satunya jalan kalau perusahaan rasional adalah menaikan harga produknya, yaitu untuk memenuhi naiknya biaya produksi dan upah karyawan.

Semua barang kebutuhan sehari-hari pak Mamat nasibnya sama dengan produk telur di atas. Sehingga, harga sabun mandi, sabun cuci, harga beras, sayur, kebutuhan anak-anak sekolah semua menjadi naik gara-gara Rp. 2000 rupiah.

Nasib Bu Mamat tidak kalah pelik. Harga-harga kebutuhan untuk buat kue sekarang melonjak naik. Bu mamat mau tidak mau harus menaikan harga jualan kuenya. Sementara langganan bu Mamat juga mengalami persoalan ekonomi yang sama dengannya. Boro-boro beli kue, untuk beli makanan pokok saja sekarang kesulitan, sehingga Bu Mamat mengurangi penjualan kuenya.

Ada Bantuan Tunai
Pak Mamat diberi tahu bahwa akan ada kompensasi dari kenaikan BBM itu dari pemerintah. Namun setelah dihitung uang kompensasi itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan satu bulan, dengan pengiritan di sana sini. Uangnya sebagian disisihkan Bu Mamat untuk modal beli bahan pembuatan kue. Masalahnya, langganan Bu Mamat tidak lagi mampu membeli kue sebanyak sebelum BBM naik.

Dari waktu-kewaktu masalah kenaikan harga BBM tidak lagi ramai dibicarakan orang. Di televisi yang biasanya ramai bahas BBM sekarang tidak lagi. Mungkin bagi TV tidak menarik lagi, masalah BBM sudah sering diulang.

Sepinya pembahasan orang akan kenaikan Rp. 2000 harga BBM, bukan berarti kehidupan pak Mamat kembali seperti semula. Pak Mamat yang bekerja sebagai tukang kebun harus banting tulang memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan bekerja pada bidang lain. Sehingga Pak Mamat sering sakit-sakitan karena kecapaian.

Pak Mamat masih bisa bersyukur masih bisa bekerja memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang halal. Beberapa hari yang lalu, tetangga pak Mamat babak belur digebukin masa karena kepergok sedang mencuri di salah satu toko elektronik. Ketika ditanya alasannya mencuri, jawabnya karena terdesak kebutuhan rumah tangga. Sementara dia hanya sebagai buruh bangunan.

Sumber: Koran Lombok Post

Wednesday 26 November 2014

Firmansyah: Indonesia Harus Rebut Kembali Saham Telkomsel


Rabu, 26 November 2014 14:18 WIB


Firmansyah: Indonesia Harus Rebut Kembali Saham Telkomsel
Istimewa
Direktur Utama Telkomsel Alex J Sinaga (kedua dari kiri) dan Komisaris Utama Telkomsel Arief Yahya (kiri), saat meninjau kesiapan peluncuran 400 Unit compact Mobile BTS (COMBAT) di Lapangan Tegalega, Bandung, Senin (18/11/2013). 
TRIBUNJATENG.COM - Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram, Dr M Firmansyah, menilai pemerintah Indonesia perlu merancang kembali strategi mengambil-alih PT Telkomsel (Tbk).
"Dengan keuntungan lebih dari Rp43 triliun per tahun, kepemilikan nasional Telkomsel akan menjadi sumber pemasukan yang menggiurkan bagi negara," katanya di Mataram, NTB, Rabu.
Ada beberapa alasan, menurut dia, pemerintah harus sekuat tenaga mengambil-alih saham Telkomsel secara penuh.
Salah satunya, jumlah kepemilikan saham asing pada Telkomsel masih relatif sedikit dibandingkan Indosat yang sudah mencapai 41 persen. Cukup jarang terjadi perusahaan telekomunikasi suatu negara diijinkan juga dikuasai negara lain.
Dari total 100 persen saham PT Telkomsel, sebesar 35 persen dikuasai Singapore Telecom (SingTel), selebihnya dikuasai PT Telekomunikasi Indonesia (Tbk), salah satu BUMN.
"Jadi menurut saya, karena kendala anggaran pemerintah prioritaskan dulu yang relatif murah. Walaupun tidak mudah bagi pemodal asing melepas Telkomsel dan Indosat," ujarnya.
Kecenderungan ke depan, kata Firmansyah, industri telekomunikasi tetap menjadi bisnis yang menggiurkan.
Secara umum, perusahan telekomunikasi diprediksi akan terus mendulang keuntungan di Tanah Air, terlebih pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia dan laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat.
"Jadi belasan bahkan puluhan triliun rupiah yang akan dikeluarkan pemerintah untuk mengambil-alih saham PT Telkomsel bukanlah hal yang sia-sia," ujar Firmansyah.
Selain aspek ekonomi-bisnis, keamanan data dan informasi juga harus menjadi hal yang dikedepankan pemerintah atas kepemilikan pihak luar negeri pada perusahaan teknologi informasi sebagaimana PT Telkomsel Tbk. (antara)

sumber: http://jateng.tribunnews.com/2014/11/26/firmasnyah-indonesia-harus-rebut-kembali-saham-telkomsel

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB DR. M FIRMANSYAH (DOSEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS) MENUNJU INDUSTRIALIS...