Sunday 29 November 2015

RASIONALITAS KONSUMEN DAN INFLASI

Fondasi yang dibangun dalam konstruksi teori ekonomi adalah human rationality. Manusia dikatakan selalu berperilaku rasional, artinya lebih suka yang banyak dari yang sedikit, menghitung untung rugi (materialistis) sebelum berperilaku dan selalu menyukai kesenangan dan menghindari kepayahan, demikian menurut filosuf J. Bentham.
Pemikir-pemikir psikologi yang mencoba memahami dan meramu perilaku ekonomi tidak sependapat dengan konstruksi tersebut. Manusia berperilaku tidak saja melulu didorong oleh faktor ekonomi yang dihitung dalam nilai moneter (uang) tapi juga ada faktor-faktor lingkungan atau kelembagaan, psikologi (delusi) dan kehidupan sosial lainnya. Pemikir ekonomi psikologi ini menjadi satu bagian dalam ilmu ekonomi yang dikenal dengan behavior economics.
Bila dipikir-pikir, buat apa masyarakat kita susah payah mengumpulkan uang untuk merayakan maulid nabi bila tidak didorong oleh nilai-nilai dalam masyarakatnya. Sudah tahu orang banyak penjara karena korupsi, tapi kenapa masih saja ada pejabat yang korupsi. Di sinilah salah satu fakta bahwa manusia terkadang tidak rasional (perspektif teori) dalam berperilaku. Tidak rasional dalam perspektif ekonomi menjadi rasional dalam konteks misalnya kelembagaan ekonomi.
Irasional Konsumen dan Inflasi
Bila sekiranya manusia selalu berpikir rasional maka tidak diperlukan tim pengendali inflasi. Semua akan berjalan menuju keseimbangan. Sebagian besar perokok tahu bahwa merokok dapat merugikan kesehatannya, tapi kenapa tetap banyak perokok, yang menyebabkan permintaan akan rokok meningkat. Walau dengan menempel gambar seram (penyakit macam-macam) pada sampul rokok tidak juga menurunkan niat orang merokok. Sama halnya dengan minuman keras. Sehingga, betapa banyak orang yang membeli barang yang tidak terlalu dibutuhkannya bahkan merugikannya.
Saya merenung dan berpikir, kenapa ketika harga produk naik kecuali barang pokok seperti beras atau bahan bakar semua menjadi panik. Dalam sebuah pertemuan di Bank Indonesia (BI) Mataram beberapa waklu lalu saya pernah menyampaikan untuk mempromosikan “konsumen cerdas”. Artinya, ketika harga daging melambung tinggi jangan dulu beli daging, ganti dengan ikan, ketika harga ikan naik ganti dengan produk lain yang menggantikan posisi ikan. Bahkan bila perlu sementara makan saja nasi dengan mie instant.
Ketika konsumen tidak membeli produk yang mengalami kenaikan itu selama dua hari saja, dapatkah pedagang untuk tetap menjual dengan harga tinggi? Hukum permintaan mengatakan ketika permintaan turun maka penawaran akan turun. Maka produsen akan menaikan permintaan dengan menurunkan harga. Kecuali tidak ada alternative lain (substitusi) akan barang tersebut.
Saya meyakini dengan semakin banyaknya swalayan di daerah harusnya inflasi tidak lagi bermasalah (ketika konsumen itu rasional). Kolega saya Dr. Iwan Harsono mengatakan produksi saat ini melimpah, tinggal persoalannya ada dan tiadanya produk itu pada waktu dan tempat yang benar.
Saya kira harga produk swalayan tidak akan ekstrim menaikan harga dalam waktu singkat dan ada banyak produk-produk pabrikan yang dapat menggantikan barang pertanian yang mengalami inflasi menggila itu. Walau itu untuk sementara saja.
Namun faktanya, ketika harga daging meninggi konsumen tetap saja membeli daging. Implikasinya, dengan harga tinggi permintaan produk tetap mengalami peningkatan sehingga akan terus mengalami kenaikan harga.
Ketika istri saya bercerita bahwa harga-harga dipasar mengalami kenaikan, harga daging saja kenaikannya dua kali lipat. Saya katakan padanya, ya sudah tidak usah beli daging dulu, beli yang lain sebagai penggantinya. Toh, kita tidak akan mati hanya karena tidak makan daging sehari atau dua hari ini.
Ingat, Deflasi Juga Penyakit
Dalam perkembanganya pemerintah umumnya pusing ketika inflasi melambung. Padahal harus disadari pula bahwa bukan hanya inflasi yang merupakan penyakit ekonomi tapi deflasi (penurunan harga) juga penyakit yang sama membahayakan perekonomian. Bedanya, inflasi itu penyakit bagi konsumen, namun pada posisi yang terlalu tinggi juga menjadi penyakit bagi produsen, karena tidak akan ada produk yang dijual dengan harga yang tidak lagi terjangkau oleh konsumen. Implikasinya produsen tidak akan menemukan konsumen yang akan membeli produknya di pasar.
Sedangkan deflasi adalah penyakit bagi produsen. Pada posisi deflasi yang berlebihan juga menjadi penyakit bagi konsumen. Karena tidak akan ada produk yang dijual bila harga jual tidak menguntungkan bagi produsen. Implikasinya konsumen tidak akan menemukan barang dan jasa di pasaran.
Sehingga demikian, persoalan inflasi harus disikapi dengan bijaksana oleh pemangku kepentingan. Karena inflasi pada posisi tertentu akan memberi dampak pada tumbuhnya keuntungan bagi produsen, sehingga dengannya skala usahanya meningkat dan serapan tenaga kerja menjadi meningkat pula.
Adalah sangat keterlaluan bila pada posisi inflasi yang sebenarnya masing relative wajar bahkan masih bisa ditenangkan, pemerintah menjadi panik dengan membuka keran import sebesar-besarnya. Apa implikasinya, produk menjadi melimpah di pasar dan harga menjadi tidak kompetitif lagi bagi petani atau pelaku usaha.
Akhirnya, memang posisi yang terbaik adalah posisi keseimbangan. Dengan posisi ekonomi seimbang, masyarakat (konsumen dan produsen) menjadi tenang beraktifitas. Namun yang perlu diperhatikan bahwa keseimbangan itu tidak mutlak menjadi dominan peran pemerintah, konsumen punya peran, produsen atau pedagang juga punya peran untuk itu. Tinggal bagaimana membangun kesadaran kolektif saja. (Firmansyah)

Sumber: http://www.lombokpost.net/2015/02/17/rasionalitas-konsumen-dan-inflasi/

Pemerintah Dituntut Kembangkan UMKM

Hadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

pemerintah-dituntut-kembangkan-umkm

JAKARTA  - Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Dr M Firmansyah, mendorong pemerintah untuk menjadikan 2016 sebagai tahunnya usaha mikro, kecil dan menengah karena sudah diberlakukannya perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

"Mengingat tahun 2016 adalah eranya perdagangan MEA, kita tentu berharap, baik secara nasional maupun lokal ada keberpihakan pemerintah dalam mengembangkan usaha mikro, kecil menengah (UMKM)," kata Dr M Firmansyah, di Mataram, Jumat (13/11).

Tim Penasehat Investasi Nusa Tenggara Barat (NTB) ini lebih lanjut memaparkan data Bank Indonesia (BI) terkait sebaran alokasi kredit provinsi-provinsi di Indonesia untuk UMKM.

Total penyaluran kredit di NTB tercatat Rp28,23 triliun dari total kredit secara nasional Rp3.914,7 triliun. Dari jumlah porsi penyaluran kredit NTB itu, sebesar Rp6,7 triliun atau 23,7 persen teralokasi untuk sektor UMKM.

"Dari data itu saya anggap porsi pembiayaan untuk UMKM masih sangat kecil. Saya tidak tahu, apakah UMKM memang terbatas mengajukan kredit atau permintaan kredit tinggi, namun kepercayaan perbankan terhadap UMKM masih belum maksimal," katanya.

Menurut dia, pemerintah harus betul-betul memberikan keberpihakan kepada pelaku UMKM karena pada umumnya bahan baku UMKM bersumber dari lokal, menyerap tenaga kerja lokal. Selain UMKM maju dan untung, lanjut Firmansyah, hasil keuntungan juga dikonsumsi di tempat lokal.

"Saya tidak tahu seberapa porsi untuk UMKM dalam APBN 2016 dan berapa persen juga UMKM menjadi bagian dari APBD NTB ke depan," ujarnya.

Namun, kata dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mataram ini, sejauh ini belum terlihat "master plan" yang cukup jelas terkait mau dikembangkan seperti apa UMKM ke depan.

Menurut Firmansyah, membangun UMKM tidak boleh hanya berhenti pada pemberian modal, pelatihan usaha tapi harus juga dikreasikan juga pasarnya.

Upaya menyiapkan pasar UMKM, tiada lain adalah melokalisir di pusat-pusat kerumunan dan tujuan kunjungan. Pemerintah juga harus segera memblokir area-area itu untuk memasarkan produk UMKM.

"Saya merasa sedih, ketika berkunjung di suatu lokasi wisata budaya ternama di Lombok, di sebelahnya terbangun pasar modern. Ritel modern itu telah mengambil peluang yang seharusnya dapat dilakukan oleh masyarakat lokal," katanya.

Sumber: http://www.balikpapanpos.co.id/berita/detail/176890-pemerintah-dituntut-kembangkan-umkm.html

Wednesday 24 June 2015

Soal Angka Kemiskinan, NTB Hadapi Pekerjaan Sulit


& Firmasyah (Suara NTB/bul) & Mori Hanafi (Suara NTB/dok)
DI tengah situasi nasional dan global yang sedang tidak berpihak, Pemprov NTB diyakini akan menghadapi tantangan yang sangat sulit untuk mengejar target penurunan angka kemiskinan di tahun ini. Target-target di masa depan mungkin saja bisa diwujudkan jika pemerintah bisa berhemat.
Sejumlah dokumen yang dihimpun Suara NTB memperlihatkan, dalam 10 tahun terakhir, persentase penduduk miskin di NTB telah berkurang sebesar 8,02 persen. Dari 25,26 persen pada 2004, persentase penduduk miskin di NTB pada 2014 turun ke posisi 17,24 persen. Dengan kata lain, rata-rata penurunan persentase penduduk miskin selama 10 tahun terakhir berada di angka 0,8 persen tiap tahunnya.
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi NTB 2013-2018, angka kemiskinan pada tahun pertama (2014) ditargetkan turun hingga 16,13 persen. Di tahun kedua, turun lagi menjadi 15,01 persen, lalu 13,97 persen pada tahun ketiga, 13,00 persen pada tahun keempat dan 12,10 persen pada tahun kelima atau 2018.
Namun, jika dilihat dari situasi ekonomi saat ini, target itu kemungkinan akan sulit tercapai. Sebab, data sementara pada 2014 saja memperlihatkan capaian penurunan kemiskinan sudah meleset jauh dari target.
Wakil Ketua DPRD NTB, Mori Hanafi, SE, M.Comm, yang dikonfirmasi Suara NTB mengenai persoalan ini mengaku bisa memaklumi mengapa prestasi penurunan angka kemiskinan di NTB saat ini kurang menggembirakan.
Menurutnya, dalam situasi normal, target penurunan sekitar satu persen pertahun yang dituangkan dalam RPJMD 2013-2018 memang cukup masuk akal. Namun, dalam situasi saat ini, ia mengaku hal itu memang sulit diwujudkan. Alih-alih berkurang, Mori memperkirakan jumlah penduduk miskin di tahun ini justru meningkat.
‘’Pascakenaikan harga BBM, kenaikan dolar, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kalau kita mau jujur, ini menambah jumlah orang miskin di NTB. Tapi, kita belum sampai pada kesimpulan berapa orang yang bertambah. Jadi dalam kondisi sekarang ini malah bertambah,’’ prediksinya.
Menurutnya, dampak dari situasi global yang direspon dengan lahirnya sejumlah kebijakan pemerintah yang menyulitkan rakyat tersebut memang bisa menimbulkan efek berantai.
“Perkiraan kita, kenaikan BBM ini setiap bulan diberlakukan. Kita yakini bulan depan naik lagi. Karena perang di Yaman dan faktor dolar yang juga naik, ini akan mengerek dolar naik. Otomatis harga dolar juga naik. Ketika dolar naik, BBM naik, orang miskin juga bertambah,” ujarnya.
Peningkatan jumlah penduduk miskin, juga beriringan dengan tumbuhnya angka pengangguran di NTB. Saat ini dampak kebijakan pemberlakuan shift-shift kerja di hotel-hotel di Lombok sudah mulai terasa. “Itu sudah mulai shift-shift-an di beberapa hotel. Kalau ini tetap diberlakukan, dua bulan tiga bulan ke depan akan ada PHK, artinya pengangguran akan semakin banyak. Kita khawatir, ini akan terjadi,’’ ujarnya. Menurutnya, tingkat hunian hotel di NTB yang masih rendah juga memperburuk keadaan.
Normalnya, ujar Mori, pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan terbukanya lapangan kerja. “Otomatis ada angkatan kerja baru yang bisa diserap. Tapi itu kalau normal. Tapi tahun ini kan kita agak tidak normal situasinya. Karena banyak faktor, nasional, internasional, dampaknya kita kena,” kata politisi Gerindra ini.
Melihat memburuknya ekonomi yang lebih banyak bersumber dari faktor-faktor di luar NTB, Mori mengaku bisa memaklumi jika Pemprov NTB tidak mampu merealisasikan apa yang telah ditargetkan. “Kalau tahun ini, mungkin berat. Karena kita banyak kena dampak,” ujarnya.
Menurutnya, dampak surat edaran atau peraturan Menteri Perikanan yang melarang pengiriman lobster dan kepiting saja sudah merugikan nelayan NTB dalam jumlah yang sangat besar. Ia memperkirakan, jumlah uang beredar di nelayan dengan adanya pengiriman lobster dan kepiting sudah berada di kisaran 160 sampai 200 miliar pertahun. ‘’Itu uang langsung di masyarakat lho. Kemudian dampak hotel, kenaikan BBM berpengaruh terhadap kebutuhan pokok. Sektor riil juga kan ikut terpukul. Jadi kalau tahun ini kok rasanya berat ya, terus terang,’’ ujarnya.
Karena itu, Mori menyarankan agar Pemprov NTB lebih memacu sektor andalan lain, seperti komoditas jagung dan industri olahan kecil dan menengah lainnya. Untuk komoditas beras, Mori mengaku sulit diharapkan untuk menjadi pengungkit ekonomi. Sebab, kenaikan harga beras tidak lain hanya menguntungkan para tengkulak dan pedagang beras besar.
‘’Selain itu, pemerintah harus hemat. Kita harus hemat terhadap belanja-belanja yang tidak prioritas. Kita sedang memasuki situasi yang sulit,’’ pungkasnya.
Jangan Gegabah
Penurunan angka kemiskinan yang dicanangkan pemerintah daerah bukan lagi perkara mudah. Sehingga pemerintah daerah tidak terlalu gegabah untuk menargetkan penurunan kemiskinan secara bombastis. Di samping faktor internal, faktor-faktor eksternal sangat kuat mempengaruhi.
Demikian pandangan Pemerhati Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unram, Dr. Firmansyah, SE, M. Si, terkait melambatnya penurunan angka kemiskinan di NTB. Dengan beberapa varaibel ekonomi yang diserahkan pada mekanisme pasar, dianggap menyebabkan susah dipatok bahwa dalam jangka panjang masyarakat miskin konstan atau menurun sekian persen. Karena boleh jadi, kemiskinan itu akan mengikuti pola perubahan variabel-variabel ekonomi itu.
“Variabel ekonomi yang paling dominan menentukan miskin atau tidaknya masyarakat adalah harga,” katanya pada Suara NTB di Mataram, Sabtu (4/4) kemarin. Persoalan kemiskinan secara ekonomi adalah persoalan daya beli. Sehingga, untuk mengurangi daya beli masyarakat maka pendapatan masyarakat harus naik, atau bila pendapatannya tetap maka harga (inflasi) minimal konstan.
“Maka saya ingin katakan pada pemerintah, bila anda tidak mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dengan menyediakan kesempatan kerja atau lapangan usaha maka minimal stabilkan harga,” tandasnya.
Masalahnya dalam era sekarang masyarakat menghadapi dua hal itu sekaligus. Pendapatan mereka yang menurun sekaligus harga yang melambung tinggi. Maka kecepatan peningkatan menjadi lebih kencang jadinya. Daerah harus selalu siap menghadapi konsekuensi dari kebijakan pusat, menaikan harga BBM, listrik, gas dan kebutuhan pokok lain tentu menjadi pemicu kemiskinan. Di NTB kemiskinan kita masih sangat tinggi, yaitu 17,24 persen.
“Saya sangat memaklumi ini, mengingat NTB bukanlah daerah industri yang mampu menyerap tenaga kerja banyak. Sisi lain sektor perdagangan menjadi lebih maju, masalahnya sektor perdagangan tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja,” tambahnya.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan harus konsisten menjalankan program mencetak 1000 wirausaha baru yang dulu dicanangkan. Tidak perlu selalu menunggu investasi luar masuk daerah. Tapi mulai semangat membangun usaha-usaha kecil.
“Saya mengkritik pemerintah pusat di salah satu media nasional, yang terlalu ambisius meningkatkan pendapatan dari pajak. Ini berbahaya, karena menjadi disinsentif bagi pengusaha lama dan juga penghalangi pengusaha baru,” kritik Firmansyah.
Bahkan ada juga sebagian yang bertanya, remitensi dari TKI asal NTB tahun 2014 mencapai Rp 1, 4 triliun. Masalahnya kenapa uang sebesar itu tidak mampu mengurangi kemiskinan di NTB. Pertanyaan yang harus dijawab adalah lewat bank mana remiten itu dikirim TKI dan uang itu digunakan untuk apa?
Bank daerah dinilai belum mampu menfasilitasi remiten itu, sehingga TKI cendrung mengirim melalui jasa bank nasional di daerah. Uang simpanan ketika disimpan di bank nasional tentu prioritas pembiayaan akan di salurkan seluruh Indonesia. Berbeda dengan bank daerah, maka peluang untuk membangun daerah lebih besar. Selanjutnya apakah uang tersebut digunakan sebagai modal usaha bagi keluarga TKI atau sekadar sebagai konsumtif semata?
Masalah kemiskinan yang saya pahami bukan sekedar karena ketiadaan pendapatan atau kekurangan pendapatan tapi juga manajemen pendapatan. Sehingga edukasi-edukasi tentang pentingnya lembaga keuangan menjadi penting bagi masyarakat.
Masih Lambat
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB menilai, penurunan angka kemiskinan di daerah ini cenderung melambat. Pemerintah daerah harus lebih serius mengawal pembangunan dan melaksanakan program-program kemasyarakatan.
Data angka kemiskinan di NTB, tahun 2011 sebesar 19,73 persen, menjadi 18,02 persen pada 2012, selanjutnya menjadi 17,25 persen pada 2013 dan bergeser cukup kecil pada menjadi 17,05 pada September 2014. Tahun 2015 masih dilakukan penghitungan.
“Idealnya bila perlu angka kemiskinan itu zero,” kata Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi NTB, Sunarno, M. Si.
Penurunan angka kemiskinan baginya tidak perlu membanding-bandingkan dengan daerah lain, meskipun mencapai target penurunan angka kemiskinan sebesar 1 persen termasuk berat. Tetapi harus ditekan seminim-minimnya.
Berdasarkan acuan Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS di NTB. Data angka kemiskinan didapat dari konsep data makro. Dengan konsep ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Dalam aplikasinya dihitunglah garis kemiskinan absolut. Penghitungan penduduk miskin dengan pendekatan makro didasarkan pada data sampel bukan data sensus, sehingga hasilnya adalah estimasi (perkiraan).
Data kemiskinan makro hanya menunjukkan jumlah dan persentase penduduk miskin di setiap daerah berdasarkan estimasi. Data ini berguna untuk perencanaan dan evaluasi program kemiskinan dengan target geografis namun tidak dapat menunjukkan siapa dan dimana alamat penduduk miskin (sasaran) sehingga tidak operasional untuk program penyaluran bantuan langsung dan perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT), raskin, dan Jamkesmas.
Sederhananya, orang dikatakan miskin apabila angka konsumsi berada di bawah angka minimal, 2.100 kalori/orang/hari. Dengan melihat 52 jenis komoditas yang menjadi konsumsinya. Jika angka konsumsi masyarakat di bawah itu, tentunya sudah dapat dikatakan miskin.
‘’Untuk survai kemiskinan menggunakan acuan Susenas, kita data apa saja yang dikonsumsi perhari, dari mana datangnya konsumsi itu. Sampai soal rokok, berapa yang habis sehari,’’ katanya.
Target pemerintah, menurunkan angka kemiskinan sebesar 10 persen hingga tahun 2018 mendatang, menurut Sunarno mwrupakan pekerjaan berat. Tetapi harus dilakukan.
Bagaimana caranya? Mengacau pada indikator secara makro, tentunya yang paling utama adalah bagaimana meningkatkan daya beli masyarakat. Caranya, keuangan masyarakat harus lancar. Berikan lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan perbanyak investasi untuk membuka lapangan pekerjaan.
‘’Tidak boleh ada yang diam, semua harus bergerak, unsur pemerinthan harus berbuat, buka lapangan kerja, tingkatkan investasi karena target 2 persen tidak main-main,’’ pesannya.(aan/bul)
sumber: http://suarantb.co.id/20150405/soal-angka-kemiskinan-ntb-hadapi-pekerjaan-sulit.html

Program Kemaritiman Terkendala Dukungan Industri Perbankan

Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai program unggulan Presiden Joko Widodo di sektor kemaritiman masih terkendala dukungan industri perbankan yang menyalurkan kredit atau pembiayaan.

"Perbankan masih benar-benar belum yakin sektor maritim dapat menguntungkan. Kekhawatiran kredit macet masih saja menghantui bank," kata Dr Firmansyah, di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pembiayaan di sektor maritim baru mencapai 2,38 persen dari total penyaluran pembiayaan perbankan, atau sebesar Rp85 triliun dari total uang yang disalurkan untuk kredit sebesar Rp3.600 triliun pada 2014.

Menurut Firmansyah, pemerintah juga belum sepenuhnya satu kata dalam membangun sektor kelautan dan perikanan.

Sebagai contoh, pajak yang ditetapkan pada sektor perikanan masih cukup tinggi, bahkan perbedaannya puluhan persen lebih tinggi dari negara lain.

"Dari situ saja dapat dilihat, berat untuk berharap nelayan bisa bersaing. Harusnya bila ingin fokus membangun sektor maritim semua aspek penghambat sudah disisir pemerintah," katanya.

Di samping itu, kata dia, bunga redit yang harus ditanggung nelayan masih berkisar 10-12 persen, jauh di atas bunga acuan Bank Indonesia sebesar 7,5 persen.

"Ini menjadi masalah, kenapa tinggi sekali bunga kredit nelayan? Bila pembangunan belum satu kata seperti ini maka pembangunan sektor maritim tidak akan berjalan lancar kedepan," katanya.

Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan Universitas Mataram (Unram) ini juga menilai masalah paling mendasar dalam bisnis perbankan adalah adanya kepastian, keberlanjutan dan keuntungan usaha yang akan dibiayai.

Hal itu merupakan standar bank yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, walaupun Presiden sekalipun yang menawarnya.

Sementara itu, nelayan Indonesia sebagian besar belum menunjukan kapasitas kepastian dan keberlanjutan usahanya.

Misalnya, bagaimana mengatasi iklim atau cuaca buruk, bila nelayan tidak melaut, sehingga bisa berimbas pada pembayaran angsuran pinjaman jika mereka mengakses permodalan di bank.

Selain itu, bagaimana memastikan peningkatan jumlah tangkapan, sehingga memberi keuntungan yang terus meningkat bagi nelayan.

"Masalah infrastruktur pada sektor maritim juga masih belum cukup memadai," ujarnya.

Dari berbagai permasalahan itu, kata Firmansyah, dapat dipahami bagi bank, bahwa sektor maritim belum memberi jaminan keuntungan bagi industri perbankan, meskipun potensi kelautan dan perikanan Indonesia dikatakan lebih dari Rp1.500 triliun.

Ia juga sepakat OJK perlu terus mengontrol dan mengamati sektor pembiayaan nelayan, terutama dari aspek kredit maupun asuransi.

Pemerintah juga jangan sekedar mendorong dan menyarankan bank untuk melirik sektor maritim. Apa yang bisa dilakukan pemerintah dan menjadi kewenangannya harus berani dieksekusi untuk membangun sektor maritim, mulai dari pajak rendah, adanya insentif untuk nelayan.

Selain itu, membangun infrastruktur yang memadai dan menjadikan nelayan "bankable" dengan melatih membangun usaha yang berkelanjutan dan berbagai unsur lain.

"Bila tidak ditinjau ulang lagi faktor-faktor penghambat pembangunan maritim pada 2015 ini, maka pembangunan maritim hanya akan jadi wacana saja. Tentu kita tidak berharap demikian," kata Firmansyah. (cn/ant)

sumber: http://www.ciputranews.com/riil/program-kemaritiman-terkendala-dukungan-industri-perbankan

NTB Dinilai Berpeluang Jadi Basis Industri


Wednesday, 24 June 2015, 15:21 WIB


zul15.student.umm.ac.id
 Pulau Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Pulau Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai Provinsi Nusa Tenggara Barat bisa menjadi basis industri baru di Indonesia, karena memiliki syarat yang dibutuhkan.

"Syarat itu, misalnya, tersedianya lahan, pelabuhan peti kemas untuk kebutuhan ekspor dan impor, jalan lintas kabupaten dan kota yang cukup baik," kata Dr M Firmansyah, di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (24/6).

NTB, kata dia, khususnya Kabupaten Bima menjadi pemasok bawang merah nomor dua di Indonesia, di bawah Brebes. Produksi bawang di Kabupaten Bima, sekitar 40.000 ton.

Dari fakta itu, komoditas bawang merah perlu dijadikan sebagai komoditas unggulan lain, selain jagung, rumput laut dan sapi.

NTB, sambung Firmansyah, juga berkontribusi terhadap produksi jagung nasional, di mana sentra produksi tersebar hampir di 10 kabupaten/kota, dengan sentra produksi terluas ada di Kabupaten Sumbawa dan Dompu.

Selain itu, lahan pertanian yang tersebar di 10 kabupaten/kota untuk ditanami komoditas bahan baku industri juga relatif memenuhi. "Berbagai potensi itu harus bisa dimanfaatkan oleh semua pihak untuk mulai fokus menjadikan NTB sebagai daerah basis industri. Tinggal sumber daya manusia ditingkatkan," ujarnya.

Ia memaparkan fakta menarik terkait pertumbuhan industri NTB, khususnya industri mikro dan kecil. NTB mengalami pertumbuhan industri mikro kecil yang sangat drastis.

Pada 2013, total industri mikro kecil NTB sebanyak 101.178 unit, terdiri atas 33.694 industri mikro dan 7.484 industri kecil. Angka tersebut tumbuh menjadi 107.231 unit, terdiri dan 33.645 industri mikro, dan13.586 industri kecil dalam rentang tahun 2013-2014 atau bertambah 6.053 unit.

Dari angka itu, NTB berkontribusi sebesar 3,06 persen dari total industri mikro dan kecil di Indonesia. "Saya kira itu adalah prestasi yang perlu terus ditingkatkan," kata Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan Universitas Mataram (Unram) ini.

NTB, kata dia, harus menargetkan jumlah industri mikro dan kecil setidaknya lima persen dari industri mikro dan kecil di Indonesia.

Salah satu cara adalah dengan meningkatkan jumlah industri pengolahan hasil pertanian seperti bawang, misalnya menjadi bawang goreng dan lain-lain, sehingga ketika masuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai Januari 2016, banyak produk industri NTB yang bisa dijual.

Menurut dia, pemerintah juga perlu memastikan dan mendorong di setiap kecamatan, bahkan kelurahan di NTB, harus punya industri, minimal industri rumah tangga. "Insya Allah dengan capaian ini, saya yakin kemiskinan akan sukses kita tekan," katanya.

Pemerintah Provinsi NTB mentargetkan menurukan angka kemiskinan yang saat ini masih sebesar 17,24 persen turun menjadi tujuh persen pada 2018.
sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/06/24/nqfwi3-ntb-dinilai-berpeluang-jadi-basis-industri

Friday 27 February 2015

HADAPI MEA PERBANKAN INDONESIA HARUS BENAHI SUKU BUNGA

WE Online, Mataram - Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai sektor perbankan nasional masih banyak yang perlu dibenahi jika ingin mampu bersaing dalam pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

"Salah satu yang harus dibenahi adalah suku bunga perbankan Indonesia masih jauh di atas rata-rata bank di negara ASEAN lainnya," katanya pada acara seminar pertemuan tahunan industri jasa keuangan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (24/2/2015).

Kegiatan pertemuan tahunan industri jasa keuangan yang bertajuk "Memacu pertumbuhan, meningkatkan kesejahteraan" yang digelar oleh Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTB tersebut bertujuan sebagai ajang refleksi dan komunikasi antara OJK dengan para pihak terkait.

Menurut Firmansyah, masih relatif tingginya bunga bank umum nasional, tidak mustahil akan berimplikasi terhadap pembiayaan keuangan di sektor riil akan diserap oleh bank asing, sehingga bank-bank nasional menjadi "kering likuiditasnya" Sementara bank pembangunan daerah (BPD), termasuk Bank NTB juga belum begitu bisa diharapkan berperan lebih jauh untuk menopang pembiayaan bagi pelaku usaha di daerah karena masih berada dalam sistem bank umum kegiatan usaha (Buku) I, yaitu modal inti di bawah Rp1 triliun yang kegiatannya dibatasi.

Salah satu pembatasan itu adalah tidak diperbolehkannya transaksi elektronik dan dengan valuta asing. "Sementara era perdagangan bebas lintas negara, dua jenis transaksi itu menjadi pasar dalam hubungan bisnis," ujar Firmansyah yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Ekonomi Dewan Riset Daerah (DRD) NTB.

Menjadi pertanyaan juga, kata dia, produk apa yang bisa dijual Indonesia di era MEA yang mulai diberlakukan secara resmi pada akhir 2015. Sementara negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia sudah mampu memasarkan produknya ke Indonesia, seperti mobil Proton.

Malaysia bahkan menggandeng Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penjualan, sementara di negaranya sendiri mobil Proton mengalami kelesuan permintaan. "Produk Indonesia masih belum ada satu pun yang diangkat dan dibesarkan pemerintah sebagai produk asli unggulan Indonesia," katanya.

Menurut Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan (PKEP) Fakultas Ekonomi Universitas Mataram, pemerintah harus terus berupaya mempromosikan produk pelaku usaha dalam negeri, sehingga tergugah rasa nasionalisme cinta produk Indonesia. "Walaupun mungkin sangat jarang konsumen nasionalis, yaitu membeli dan lebih mencintai produk nasional walau berharga mahal dan kurang berkualitas, setidaknya dengan diperkenalkan, dipromosikan terus menerus oleh pemerintah, tidak menutup kemungkinan nasionalisme dalam berbelanja itu ada," kata Firmansyah. (Ant)
Editor: Achmad Fauzi
http://wartaekonomi.co.id/read/2015/02/24/46796/hadapi-mea-perbankan-indonesia-harus-benahi-suku-bunga.html

Thursday 26 February 2015

Menjadi Narasumber Lokakarya Kerja Sama Depertamen Luar Negeri dan FEB Unram



Menjadi Narasumber Seminar Otoritas Jasa Keuangan NTB

Acara dilaksanakan di Hotel Lombok Raya dan dibuka langsung oleh Bapak Wakil Gubernur NTB. Perserta yang hadir adalah semua pimpinan lembaga keuangan dan pelaku usaha, muspida, DPRD dan lain-lain.

Bertindak sebagai Moderator: Dr. Prayitno Basuki. Sedangkan Host 1) Saya (Dr. M Firmansyah) dan Dr. Iwan Harsono.



Monday 26 January 2015

Economist: KPK-Polri Clash Will Drive Away Investors

TEMPO.COJakarta - An economist from Mataram University, Dr. M. Firmansyah, said that the conflict between the Corruption Eradication Commission (KPK) and the National Police (Polri) may deal a negative impact on the growth of investment in Indonesia, as investors may interpret it as the Government's lack of commitment on eradicating corruption in Indonesia.
"Although the relationship between the institutional clash and its' resultant effect on the national economy has yet to become apparent, foreign investors may understand this as the absence of a fair and independent judiciary in Indonesia - this will scare away potential investors," said Firmansyah in Mataram, West Nusa Tenggara on Monday, January 26, 2015.
According to Firmansyah, President Joko "Jokowi" Widodo needs to be firm in ensuring that he is able to deliver his campaign promise of advancing eradicating corruption under his tenure.
Firmansyah also added that investors will shy away from Indonesia as corruption significantly raises the cost of doing business. "Transactional costs soar when corruption is added into the equation - thus reducing Indonesia's competitive advantage, especially in the upcoming establishment of the Association of South East Asian Nations (ASEAN) Economic Community," he said.
ANTARANEWS

Sumber: http://en.tempo.co/read/news/2015/01/26/056637727/Economist-KPK-Polri-Clash-Will-Drive-Away-Investors

Thursday 8 January 2015

Resort mewah di Lombok, masyarakat terancam jadi penonton

Reporter : Desi Aditia Ningrum | Selasa, 6 Januari 2015 09:45

Merdeka.com - Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai masyarakat Nusa Tenggara Barat terancam hanya menjadi penonton ketika kawasan Mandalika Resort sudah berkembang, sebab rata-rata tingkat pendidikannya hanya tamat sekolah menengah pertama.

"Sulit kita berharap tamatan SMP yang masih mayoritas di masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB), mampu menjadi pekerja di hotel dan restoran atau institusi bisnis lain di kawasan Mandalika Resort," katanya di Mataram, Selasa (6/12).

Menurut dia, kawasan Mandalika menjadi salah satu dari tiga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dicanangkan pemerintah pusat. Kawasan itu akan disulap sebagai pusat kawasan terpadu yang menjanjikan terbukanya lapangan kerja baru.

Namun, sebagian masyarakat merasa skeptis apa mampu memanfaatkan peluang dengan tingkat pendidikannya yang tergolong masih rendah.

Jawaban dari pertanyaan itu, kata Firmansyah, tergantung dari kesungguhan bagaimana merancang kawasan Mandalika.

"Apakah pemilik dan investor nantinya punya keinginan untuk mengakomodir potensi lokal dalam tata ruang perencanaan pembangunan kawasan tersebut," ujarnya.

Ia mengatakan, bila dilihat dari pengembangan kawasan ekonomi standar kepariwisataan seperti di Mandalika, akan terdiri dari kluster hotel dan restoran, kluster usaha mikro, kecil dan menengah, akan ada vila, lapangan golf, sekolah-sekolah dan lain-lain.

Dilihat dari model standar di atas, maka tenaga kerja yang terserap di kawasan Mandalika Resort, nantinya tentu tenaga kerja yang memiliki kualifikasi tinggi.

Melihat itu, lanjut Firmansyah, sulit bagi masyarakat NTB untuk berharap menjadi pekerja di hotel mewah atau vila kelas atas jika mengandalkan ijazah SMP.

"Tidak bisa paksakan. Persoalan bisnis tidak boleh dipaksakan mengakomodir wilayah sosial. Kalau tetap dipaksakan jangan harap investor akan injak kaki lagi di daerah ini," ucapnya.

Menurut Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan (PKEP) Fakultas Ekonomi Universitas Mataram, ini walaupun dalam jangka pendek pelaku usaha lokal sulit berkontribusi dalam menyerap kesempatan kerja langsung, namun setidaknya ada faktor tidak langsung yang dapat dimanfaatkan dengan multi efek dari kawasan Mandalika tersebut.

Kawasan Mandalika, lanjutnya, harus mengakomodir unsur-unsur lokal, mulai dari budaya lokal sampai panganan lokal.

Menurut Firmansyah, bila ingin membangun kluster hotel dan restoran perlu memakai konsep etnik Sasak (Etnis Lombok). Misalnya dalam mendesain bangunan, ada pertunjukan budaya lokal dan makanan yang disajikan diutamakan berbahan lokal, pakaian pelaku usaha asli lokal dan seterusnya.

"Hal seperti itu barangkali bukan atas pemerintah yang mengaturnya, namun perlu kesepakatan bersama semua pihak untuk itu," katanya.

Firmansyah juga menilai konsep-konsep seperti desa budaya sebagai kluster hotel, di mana hotel-hotel itu dibangun dalam satu kawasan berbentuk desa dan kental dengan ciri tradisional masih jarang menjadi perhatian.

Oleh sebab itu, pemangku kepentingan juga perlu diberi ruang strategis, seperti pedagang kecil untuk menjual produk-produk lokal.

Strategis artinya tidak jauh dari kawasan induk (Mandalika), dilewati kendaraan yang menuju kawasan wisata.

"Salah satu contoh Desa Sade. Ketika wisatawan hendak ke pantai Kuta karena satu jalur, wisatawan dapat mampir dahulu di Desa Sade," ujarnya, seperti dilansir Antara.

Di Mandalika Resort seluas 1.175 hektare akan dibangun kawasan wisata terintegrasi yang dikelola oleh PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).

Badan usaha milik negara (BUMN) tersebut akan mulai membangun hotel pada 2015 dengan rencana anggaran sebesar Rp 357 miliar, termasuk untuk pembangunan akses jalan tahap lanjutan.

Hotel milik ITDC ini direncanakan akan menggunakan Marriot sebagai operator dengan target "ground breaking" atau peletakan batu pertama pada Agustus 2015, dan mulai beroperasi pada 2017.

Properti pariwisata lain yang memiliki target pembangunan mulai 2015 adalah lapangan golf dan satu hotel yang akan dibangun oleh MNC, satu hotel yang akan dibangun oleh Dharmakusala dan satu hotel milik ITDC.
Sumber: http://www.merdeka.com/peristiwa/resort-mewah-di-lombok-masyarakat-terancam-jadi-penonton.html

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB DR. M FIRMANSYAH (DOSEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS) MENUNJU INDUSTRIALIS...