Wednesday 24 June 2015

Soal Angka Kemiskinan, NTB Hadapi Pekerjaan Sulit


& Firmasyah (Suara NTB/bul) & Mori Hanafi (Suara NTB/dok)
DI tengah situasi nasional dan global yang sedang tidak berpihak, Pemprov NTB diyakini akan menghadapi tantangan yang sangat sulit untuk mengejar target penurunan angka kemiskinan di tahun ini. Target-target di masa depan mungkin saja bisa diwujudkan jika pemerintah bisa berhemat.
Sejumlah dokumen yang dihimpun Suara NTB memperlihatkan, dalam 10 tahun terakhir, persentase penduduk miskin di NTB telah berkurang sebesar 8,02 persen. Dari 25,26 persen pada 2004, persentase penduduk miskin di NTB pada 2014 turun ke posisi 17,24 persen. Dengan kata lain, rata-rata penurunan persentase penduduk miskin selama 10 tahun terakhir berada di angka 0,8 persen tiap tahunnya.
Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi NTB 2013-2018, angka kemiskinan pada tahun pertama (2014) ditargetkan turun hingga 16,13 persen. Di tahun kedua, turun lagi menjadi 15,01 persen, lalu 13,97 persen pada tahun ketiga, 13,00 persen pada tahun keempat dan 12,10 persen pada tahun kelima atau 2018.
Namun, jika dilihat dari situasi ekonomi saat ini, target itu kemungkinan akan sulit tercapai. Sebab, data sementara pada 2014 saja memperlihatkan capaian penurunan kemiskinan sudah meleset jauh dari target.
Wakil Ketua DPRD NTB, Mori Hanafi, SE, M.Comm, yang dikonfirmasi Suara NTB mengenai persoalan ini mengaku bisa memaklumi mengapa prestasi penurunan angka kemiskinan di NTB saat ini kurang menggembirakan.
Menurutnya, dalam situasi normal, target penurunan sekitar satu persen pertahun yang dituangkan dalam RPJMD 2013-2018 memang cukup masuk akal. Namun, dalam situasi saat ini, ia mengaku hal itu memang sulit diwujudkan. Alih-alih berkurang, Mori memperkirakan jumlah penduduk miskin di tahun ini justru meningkat.
‘’Pascakenaikan harga BBM, kenaikan dolar, kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Kalau kita mau jujur, ini menambah jumlah orang miskin di NTB. Tapi, kita belum sampai pada kesimpulan berapa orang yang bertambah. Jadi dalam kondisi sekarang ini malah bertambah,’’ prediksinya.
Menurutnya, dampak dari situasi global yang direspon dengan lahirnya sejumlah kebijakan pemerintah yang menyulitkan rakyat tersebut memang bisa menimbulkan efek berantai.
“Perkiraan kita, kenaikan BBM ini setiap bulan diberlakukan. Kita yakini bulan depan naik lagi. Karena perang di Yaman dan faktor dolar yang juga naik, ini akan mengerek dolar naik. Otomatis harga dolar juga naik. Ketika dolar naik, BBM naik, orang miskin juga bertambah,” ujarnya.
Peningkatan jumlah penduduk miskin, juga beriringan dengan tumbuhnya angka pengangguran di NTB. Saat ini dampak kebijakan pemberlakuan shift-shift kerja di hotel-hotel di Lombok sudah mulai terasa. “Itu sudah mulai shift-shift-an di beberapa hotel. Kalau ini tetap diberlakukan, dua bulan tiga bulan ke depan akan ada PHK, artinya pengangguran akan semakin banyak. Kita khawatir, ini akan terjadi,’’ ujarnya. Menurutnya, tingkat hunian hotel di NTB yang masih rendah juga memperburuk keadaan.
Normalnya, ujar Mori, pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan terbukanya lapangan kerja. “Otomatis ada angkatan kerja baru yang bisa diserap. Tapi itu kalau normal. Tapi tahun ini kan kita agak tidak normal situasinya. Karena banyak faktor, nasional, internasional, dampaknya kita kena,” kata politisi Gerindra ini.
Melihat memburuknya ekonomi yang lebih banyak bersumber dari faktor-faktor di luar NTB, Mori mengaku bisa memaklumi jika Pemprov NTB tidak mampu merealisasikan apa yang telah ditargetkan. “Kalau tahun ini, mungkin berat. Karena kita banyak kena dampak,” ujarnya.
Menurutnya, dampak surat edaran atau peraturan Menteri Perikanan yang melarang pengiriman lobster dan kepiting saja sudah merugikan nelayan NTB dalam jumlah yang sangat besar. Ia memperkirakan, jumlah uang beredar di nelayan dengan adanya pengiriman lobster dan kepiting sudah berada di kisaran 160 sampai 200 miliar pertahun. ‘’Itu uang langsung di masyarakat lho. Kemudian dampak hotel, kenaikan BBM berpengaruh terhadap kebutuhan pokok. Sektor riil juga kan ikut terpukul. Jadi kalau tahun ini kok rasanya berat ya, terus terang,’’ ujarnya.
Karena itu, Mori menyarankan agar Pemprov NTB lebih memacu sektor andalan lain, seperti komoditas jagung dan industri olahan kecil dan menengah lainnya. Untuk komoditas beras, Mori mengaku sulit diharapkan untuk menjadi pengungkit ekonomi. Sebab, kenaikan harga beras tidak lain hanya menguntungkan para tengkulak dan pedagang beras besar.
‘’Selain itu, pemerintah harus hemat. Kita harus hemat terhadap belanja-belanja yang tidak prioritas. Kita sedang memasuki situasi yang sulit,’’ pungkasnya.
Jangan Gegabah
Penurunan angka kemiskinan yang dicanangkan pemerintah daerah bukan lagi perkara mudah. Sehingga pemerintah daerah tidak terlalu gegabah untuk menargetkan penurunan kemiskinan secara bombastis. Di samping faktor internal, faktor-faktor eksternal sangat kuat mempengaruhi.
Demikian pandangan Pemerhati Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unram, Dr. Firmansyah, SE, M. Si, terkait melambatnya penurunan angka kemiskinan di NTB. Dengan beberapa varaibel ekonomi yang diserahkan pada mekanisme pasar, dianggap menyebabkan susah dipatok bahwa dalam jangka panjang masyarakat miskin konstan atau menurun sekian persen. Karena boleh jadi, kemiskinan itu akan mengikuti pola perubahan variabel-variabel ekonomi itu.
“Variabel ekonomi yang paling dominan menentukan miskin atau tidaknya masyarakat adalah harga,” katanya pada Suara NTB di Mataram, Sabtu (4/4) kemarin. Persoalan kemiskinan secara ekonomi adalah persoalan daya beli. Sehingga, untuk mengurangi daya beli masyarakat maka pendapatan masyarakat harus naik, atau bila pendapatannya tetap maka harga (inflasi) minimal konstan.
“Maka saya ingin katakan pada pemerintah, bila anda tidak mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dengan menyediakan kesempatan kerja atau lapangan usaha maka minimal stabilkan harga,” tandasnya.
Masalahnya dalam era sekarang masyarakat menghadapi dua hal itu sekaligus. Pendapatan mereka yang menurun sekaligus harga yang melambung tinggi. Maka kecepatan peningkatan menjadi lebih kencang jadinya. Daerah harus selalu siap menghadapi konsekuensi dari kebijakan pusat, menaikan harga BBM, listrik, gas dan kebutuhan pokok lain tentu menjadi pemicu kemiskinan. Di NTB kemiskinan kita masih sangat tinggi, yaitu 17,24 persen.
“Saya sangat memaklumi ini, mengingat NTB bukanlah daerah industri yang mampu menyerap tenaga kerja banyak. Sisi lain sektor perdagangan menjadi lebih maju, masalahnya sektor perdagangan tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja,” tambahnya.
Oleh karena itu, pemerintah diharapkan harus konsisten menjalankan program mencetak 1000 wirausaha baru yang dulu dicanangkan. Tidak perlu selalu menunggu investasi luar masuk daerah. Tapi mulai semangat membangun usaha-usaha kecil.
“Saya mengkritik pemerintah pusat di salah satu media nasional, yang terlalu ambisius meningkatkan pendapatan dari pajak. Ini berbahaya, karena menjadi disinsentif bagi pengusaha lama dan juga penghalangi pengusaha baru,” kritik Firmansyah.
Bahkan ada juga sebagian yang bertanya, remitensi dari TKI asal NTB tahun 2014 mencapai Rp 1, 4 triliun. Masalahnya kenapa uang sebesar itu tidak mampu mengurangi kemiskinan di NTB. Pertanyaan yang harus dijawab adalah lewat bank mana remiten itu dikirim TKI dan uang itu digunakan untuk apa?
Bank daerah dinilai belum mampu menfasilitasi remiten itu, sehingga TKI cendrung mengirim melalui jasa bank nasional di daerah. Uang simpanan ketika disimpan di bank nasional tentu prioritas pembiayaan akan di salurkan seluruh Indonesia. Berbeda dengan bank daerah, maka peluang untuk membangun daerah lebih besar. Selanjutnya apakah uang tersebut digunakan sebagai modal usaha bagi keluarga TKI atau sekadar sebagai konsumtif semata?
Masalah kemiskinan yang saya pahami bukan sekedar karena ketiadaan pendapatan atau kekurangan pendapatan tapi juga manajemen pendapatan. Sehingga edukasi-edukasi tentang pentingnya lembaga keuangan menjadi penting bagi masyarakat.
Masih Lambat
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB menilai, penurunan angka kemiskinan di daerah ini cenderung melambat. Pemerintah daerah harus lebih serius mengawal pembangunan dan melaksanakan program-program kemasyarakatan.
Data angka kemiskinan di NTB, tahun 2011 sebesar 19,73 persen, menjadi 18,02 persen pada 2012, selanjutnya menjadi 17,25 persen pada 2013 dan bergeser cukup kecil pada menjadi 17,05 pada September 2014. Tahun 2015 masih dilakukan penghitungan.
“Idealnya bila perlu angka kemiskinan itu zero,” kata Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi NTB, Sunarno, M. Si.
Penurunan angka kemiskinan baginya tidak perlu membanding-bandingkan dengan daerah lain, meskipun mencapai target penurunan angka kemiskinan sebesar 1 persen termasuk berat. Tetapi harus ditekan seminim-minimnya.
Berdasarkan acuan Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS di NTB. Data angka kemiskinan didapat dari konsep data makro. Dengan konsep ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. Dalam aplikasinya dihitunglah garis kemiskinan absolut. Penghitungan penduduk miskin dengan pendekatan makro didasarkan pada data sampel bukan data sensus, sehingga hasilnya adalah estimasi (perkiraan).
Data kemiskinan makro hanya menunjukkan jumlah dan persentase penduduk miskin di setiap daerah berdasarkan estimasi. Data ini berguna untuk perencanaan dan evaluasi program kemiskinan dengan target geografis namun tidak dapat menunjukkan siapa dan dimana alamat penduduk miskin (sasaran) sehingga tidak operasional untuk program penyaluran bantuan langsung dan perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT), raskin, dan Jamkesmas.
Sederhananya, orang dikatakan miskin apabila angka konsumsi berada di bawah angka minimal, 2.100 kalori/orang/hari. Dengan melihat 52 jenis komoditas yang menjadi konsumsinya. Jika angka konsumsi masyarakat di bawah itu, tentunya sudah dapat dikatakan miskin.
‘’Untuk survai kemiskinan menggunakan acuan Susenas, kita data apa saja yang dikonsumsi perhari, dari mana datangnya konsumsi itu. Sampai soal rokok, berapa yang habis sehari,’’ katanya.
Target pemerintah, menurunkan angka kemiskinan sebesar 10 persen hingga tahun 2018 mendatang, menurut Sunarno mwrupakan pekerjaan berat. Tetapi harus dilakukan.
Bagaimana caranya? Mengacau pada indikator secara makro, tentunya yang paling utama adalah bagaimana meningkatkan daya beli masyarakat. Caranya, keuangan masyarakat harus lancar. Berikan lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan perbanyak investasi untuk membuka lapangan pekerjaan.
‘’Tidak boleh ada yang diam, semua harus bergerak, unsur pemerinthan harus berbuat, buka lapangan kerja, tingkatkan investasi karena target 2 persen tidak main-main,’’ pesannya.(aan/bul)
sumber: http://suarantb.co.id/20150405/soal-angka-kemiskinan-ntb-hadapi-pekerjaan-sulit.html

Program Kemaritiman Terkendala Dukungan Industri Perbankan

Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai program unggulan Presiden Joko Widodo di sektor kemaritiman masih terkendala dukungan industri perbankan yang menyalurkan kredit atau pembiayaan.

"Perbankan masih benar-benar belum yakin sektor maritim dapat menguntungkan. Kekhawatiran kredit macet masih saja menghantui bank," kata Dr Firmansyah, di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pembiayaan di sektor maritim baru mencapai 2,38 persen dari total penyaluran pembiayaan perbankan, atau sebesar Rp85 triliun dari total uang yang disalurkan untuk kredit sebesar Rp3.600 triliun pada 2014.

Menurut Firmansyah, pemerintah juga belum sepenuhnya satu kata dalam membangun sektor kelautan dan perikanan.

Sebagai contoh, pajak yang ditetapkan pada sektor perikanan masih cukup tinggi, bahkan perbedaannya puluhan persen lebih tinggi dari negara lain.

"Dari situ saja dapat dilihat, berat untuk berharap nelayan bisa bersaing. Harusnya bila ingin fokus membangun sektor maritim semua aspek penghambat sudah disisir pemerintah," katanya.

Di samping itu, kata dia, bunga redit yang harus ditanggung nelayan masih berkisar 10-12 persen, jauh di atas bunga acuan Bank Indonesia sebesar 7,5 persen.

"Ini menjadi masalah, kenapa tinggi sekali bunga kredit nelayan? Bila pembangunan belum satu kata seperti ini maka pembangunan sektor maritim tidak akan berjalan lancar kedepan," katanya.

Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan Universitas Mataram (Unram) ini juga menilai masalah paling mendasar dalam bisnis perbankan adalah adanya kepastian, keberlanjutan dan keuntungan usaha yang akan dibiayai.

Hal itu merupakan standar bank yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, walaupun Presiden sekalipun yang menawarnya.

Sementara itu, nelayan Indonesia sebagian besar belum menunjukan kapasitas kepastian dan keberlanjutan usahanya.

Misalnya, bagaimana mengatasi iklim atau cuaca buruk, bila nelayan tidak melaut, sehingga bisa berimbas pada pembayaran angsuran pinjaman jika mereka mengakses permodalan di bank.

Selain itu, bagaimana memastikan peningkatan jumlah tangkapan, sehingga memberi keuntungan yang terus meningkat bagi nelayan.

"Masalah infrastruktur pada sektor maritim juga masih belum cukup memadai," ujarnya.

Dari berbagai permasalahan itu, kata Firmansyah, dapat dipahami bagi bank, bahwa sektor maritim belum memberi jaminan keuntungan bagi industri perbankan, meskipun potensi kelautan dan perikanan Indonesia dikatakan lebih dari Rp1.500 triliun.

Ia juga sepakat OJK perlu terus mengontrol dan mengamati sektor pembiayaan nelayan, terutama dari aspek kredit maupun asuransi.

Pemerintah juga jangan sekedar mendorong dan menyarankan bank untuk melirik sektor maritim. Apa yang bisa dilakukan pemerintah dan menjadi kewenangannya harus berani dieksekusi untuk membangun sektor maritim, mulai dari pajak rendah, adanya insentif untuk nelayan.

Selain itu, membangun infrastruktur yang memadai dan menjadikan nelayan "bankable" dengan melatih membangun usaha yang berkelanjutan dan berbagai unsur lain.

"Bila tidak ditinjau ulang lagi faktor-faktor penghambat pembangunan maritim pada 2015 ini, maka pembangunan maritim hanya akan jadi wacana saja. Tentu kita tidak berharap demikian," kata Firmansyah. (cn/ant)

sumber: http://www.ciputranews.com/riil/program-kemaritiman-terkendala-dukungan-industri-perbankan

NTB Dinilai Berpeluang Jadi Basis Industri


Wednesday, 24 June 2015, 15:21 WIB


zul15.student.umm.ac.id
 Pulau Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Pulau Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat.
A+ | Reset | A-
REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai Provinsi Nusa Tenggara Barat bisa menjadi basis industri baru di Indonesia, karena memiliki syarat yang dibutuhkan.

"Syarat itu, misalnya, tersedianya lahan, pelabuhan peti kemas untuk kebutuhan ekspor dan impor, jalan lintas kabupaten dan kota yang cukup baik," kata Dr M Firmansyah, di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Rabu (24/6).

NTB, kata dia, khususnya Kabupaten Bima menjadi pemasok bawang merah nomor dua di Indonesia, di bawah Brebes. Produksi bawang di Kabupaten Bima, sekitar 40.000 ton.

Dari fakta itu, komoditas bawang merah perlu dijadikan sebagai komoditas unggulan lain, selain jagung, rumput laut dan sapi.

NTB, sambung Firmansyah, juga berkontribusi terhadap produksi jagung nasional, di mana sentra produksi tersebar hampir di 10 kabupaten/kota, dengan sentra produksi terluas ada di Kabupaten Sumbawa dan Dompu.

Selain itu, lahan pertanian yang tersebar di 10 kabupaten/kota untuk ditanami komoditas bahan baku industri juga relatif memenuhi. "Berbagai potensi itu harus bisa dimanfaatkan oleh semua pihak untuk mulai fokus menjadikan NTB sebagai daerah basis industri. Tinggal sumber daya manusia ditingkatkan," ujarnya.

Ia memaparkan fakta menarik terkait pertumbuhan industri NTB, khususnya industri mikro dan kecil. NTB mengalami pertumbuhan industri mikro kecil yang sangat drastis.

Pada 2013, total industri mikro kecil NTB sebanyak 101.178 unit, terdiri atas 33.694 industri mikro dan 7.484 industri kecil. Angka tersebut tumbuh menjadi 107.231 unit, terdiri dan 33.645 industri mikro, dan13.586 industri kecil dalam rentang tahun 2013-2014 atau bertambah 6.053 unit.

Dari angka itu, NTB berkontribusi sebesar 3,06 persen dari total industri mikro dan kecil di Indonesia. "Saya kira itu adalah prestasi yang perlu terus ditingkatkan," kata Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan Universitas Mataram (Unram) ini.

NTB, kata dia, harus menargetkan jumlah industri mikro dan kecil setidaknya lima persen dari industri mikro dan kecil di Indonesia.

Salah satu cara adalah dengan meningkatkan jumlah industri pengolahan hasil pertanian seperti bawang, misalnya menjadi bawang goreng dan lain-lain, sehingga ketika masuk era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai Januari 2016, banyak produk industri NTB yang bisa dijual.

Menurut dia, pemerintah juga perlu memastikan dan mendorong di setiap kecamatan, bahkan kelurahan di NTB, harus punya industri, minimal industri rumah tangga. "Insya Allah dengan capaian ini, saya yakin kemiskinan akan sukses kita tekan," katanya.

Pemerintah Provinsi NTB mentargetkan menurukan angka kemiskinan yang saat ini masih sebesar 17,24 persen turun menjadi tujuh persen pada 2018.
sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/06/24/nqfwi3-ntb-dinilai-berpeluang-jadi-basis-industri

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB DR. M FIRMANSYAH (DOSEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS) MENUNJU INDUSTRIALIS...