Serba serbi komentar
menanggapi kenaikan BBM masih saja terdengar di ruang-ruang publik. Di
media-media sosial misalnya, perang komentar yang pro dan kontra kenaikan terus
saja terjadi sampai hari ini.
Istilah-istilah
seperti “salam gigit jari”, “salam dua ribu” menjadi trading topic di media sosial seperti twitter dan facebook. Istilah-istilah
ini dihembuskan yang kontra kenaikan BBM dan kemungkinan dulunya tidak memilih
presiden Jokowi-Jk sebagai pilihan politiknya. Pendukung kebijakan presiden-pun
tidak kalah defensive mengatasi serangan, misalnya muncul ungkapan “naik Rp. 2000 saja kok ribut” atau “harga rokok naik tidak ribut, kok harga BBM
naik ribut” dan seterusnya.
Kalangan intelektual
yang mendukung kebijakan tidak popular ini bahkan masih ada yang menyepelekan
kenaikan harga BBM Rp. 2000. Alasannya cukup rasional, Negara butuh banyak
infrastruktur pendidikan dan kesehatan dari pada habis dibakar, digunakan
sia-sia untuk subsidi BBM.
Analogi Pak Mamat Tukang Kebun
Dalam menyederhanakan
perumpamaan, kita analogikan kehidupan Pak Mamat yang bekerja sebagai tukang
kebun. Pak Mamat adalah rakyat kecil yang akan mengalami langsung dari kenaikan
BBM.
Pak Mamat punya tiga
orang anak, dan ketiga-tiganya masih duduk dibangku sekolah. Kebutuhan sekolah
anak-anak, mulai dari baju seragam, perlengkapan tulis sampai uang jajan harus
dipenuhi pak Mamat. Sebagai penopang kebutuhan rumah tangga, syukurnya pak
Mamat dibantu istri berjualan kue di kampungnya.
Sebelumnya dengan
pendapatan yang pas-pasan Pak Mamat sesekali mampu memenuhi kebutuhan gizi
keluarganya, dengan membeli telur, susu dan kebutuhan lain. Karena pendapatan
dari berkebun tidak seberapa, namun penghasilan istri yang berjualan kue sangat
membantu untuk memenuhi kebutuhan sabun mandi, sabun cuci, kebutuhan dapur dan
seterusnya.
Tiba-tiba harga BBM
naik Rp. 2000. Pak Mamat menjadi pusing mengatur kembali pembelanjaan rumah
tangganya. Bila hanya BBM saja naik Rp. 2000 tidak jadi soal, masalahnya
kenaikan itu mendorong semua barang kebutuhan menjadi melonjak naik.
Pak Mamat bingung,
jangankan untuk memenuhi gizi kelurga dengan membeli telur dan susu, untuk beli
makanan pokok saja menjadi susah. Pak Mamat bertanya pada pedagang, kenapa
harus naik harganya? Pedagang menjawab, karena BBM naik pak, apa urusannya BBM
naik dengannya naiknya harga telur, susu dan lain-lain, kata pak Mamat. Telur
dan susu inikan adanya di kampung sebelah pak, untuk diangkut kesini kan pakai
transport, biaya transport kan naik karena BBM naik.
Di samping itu ayam
Ras yang menghasilkan telur inikan butuh pakan. Pakannya dijual oleh perusahaan
di kampung sebelahnya lagi, sehingga mendatangkan pakan juga harus pakai transport.
Dengar-dengar, di perusahaan pakan juga sedang masalah pak, soalnya pengolahan
pakan masih gunakan BBM untuk produksi, sementara BBMkan naik, belum lagi
karyawan nuntut naik gaji. Maka satu-satunya jalan kalau perusahaan rasional
adalah menaikan harga produknya, yaitu untuk memenuhi naiknya biaya produksi
dan upah karyawan.
Semua barang kebutuhan
sehari-hari pak Mamat nasibnya sama dengan produk telur di atas. Sehingga,
harga sabun mandi, sabun cuci, harga beras, sayur, kebutuhan anak-anak sekolah semua
menjadi naik gara-gara Rp. 2000 rupiah.
Nasib Bu Mamat tidak
kalah pelik. Harga-harga kebutuhan untuk buat kue sekarang melonjak naik. Bu
mamat mau tidak mau harus menaikan harga jualan kuenya. Sementara langganan bu
Mamat juga mengalami persoalan ekonomi yang sama dengannya. Boro-boro beli kue,
untuk beli makanan pokok saja sekarang kesulitan, sehingga Bu Mamat mengurangi
penjualan kuenya.
Ada Bantuan Tunai
Pak Mamat diberi tahu
bahwa akan ada kompensasi dari kenaikan BBM itu dari pemerintah. Namun setelah
dihitung uang kompensasi itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan satu bulan,
dengan pengiritan di sana sini. Uangnya sebagian disisihkan Bu Mamat untuk
modal beli bahan pembuatan kue. Masalahnya, langganan Bu Mamat tidak lagi mampu
membeli kue sebanyak sebelum BBM naik.
Dari waktu-kewaktu
masalah kenaikan harga BBM tidak lagi ramai dibicarakan orang. Di televisi yang
biasanya ramai bahas BBM sekarang tidak lagi. Mungkin bagi TV tidak menarik
lagi, masalah BBM sudah sering diulang.
Sepinya pembahasan
orang akan kenaikan Rp. 2000 harga BBM, bukan berarti kehidupan pak Mamat
kembali seperti semula. Pak Mamat yang bekerja sebagai tukang kebun harus
banting tulang memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan bekerja pada bidang
lain. Sehingga Pak Mamat sering sakit-sakitan karena kecapaian.
Pak Mamat masih bisa
bersyukur masih bisa bekerja memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang halal.
Beberapa hari yang lalu, tetangga pak Mamat babak belur digebukin masa karena
kepergok sedang mencuri di salah satu toko elektronik. Ketika ditanya alasannya
mencuri, jawabnya karena terdesak kebutuhan rumah tangga. Sementara dia hanya
sebagai buruh bangunan. Serba serbi komentar
menanggapi kenaikan BBM masih saja terdengar di ruang-ruang publik. Di
media-media sosial misalnya, perang komentar yang pro dan kontra kenaikan terus
saja terjadi sampai hari ini.
Istilah-istilah
seperti “salam gigit jari”, “salam dua ribu” menjadi trading topic di media sosial seperti twitter dan facebook. Istilah-istilah
ini dihembuskan yang kontra kenaikan BBM dan kemungkinan dulunya tidak memilih
presiden Jokowi-Jk sebagai pilihan politiknya. Pendukung kebijakan presiden-pun
tidak kalah defensive mengatasi serangan, misalnya muncul ungkapan “naik Rp. 2000 saja kok ribut” atau “harga rokok naik tidak ribut, kok harga BBM
naik ribut” dan seterusnya.
Kalangan intelektual
yang mendukung kebijakan tidak popular ini bahkan masih ada yang menyepelekan
kenaikan harga BBM Rp. 2000. Alasannya cukup rasional, Negara butuh banyak
infrastruktur pendidikan dan kesehatan dari pada habis dibakar, digunakan
sia-sia untuk subsidi BBM.
Analogi Pak Mamat Tukang Kebun
Dalam menyederhanakan
perumpamaan, kita analogikan kehidupan Pak Mamat yang bekerja sebagai tukang
kebun. Pak Mamat adalah rakyat kecil yang akan mengalami langsung dari kenaikan
BBM.
Pak Mamat punya tiga
orang anak, dan ketiga-tiganya masih duduk dibangku sekolah. Kebutuhan sekolah
anak-anak, mulai dari baju seragam, perlengkapan tulis sampai uang jajan harus
dipenuhi pak Mamat. Sebagai penopang kebutuhan rumah tangga, syukurnya pak
Mamat dibantu istri berjualan kue di kampungnya.
Sebelumnya dengan
pendapatan yang pas-pasan Pak Mamat sesekali mampu memenuhi kebutuhan gizi
keluarganya, dengan membeli telur, susu dan kebutuhan lain. Karena pendapatan
dari berkebun tidak seberapa, namun penghasilan istri yang berjualan kue sangat
membantu untuk memenuhi kebutuhan sabun mandi, sabun cuci, kebutuhan dapur dan
seterusnya.
Tiba-tiba harga BBM
naik Rp. 2000. Pak Mamat menjadi pusing mengatur kembali pembelanjaan rumah
tangganya. Bila hanya BBM saja naik Rp. 2000 tidak jadi soal, masalahnya
kenaikan itu mendorong semua barang kebutuhan menjadi melonjak naik.
Pak Mamat bingung,
jangankan untuk memenuhi gizi kelurga dengan membeli telur dan susu, untuk beli
makanan pokok saja menjadi susah. Pak Mamat bertanya pada pedagang, kenapa
harus naik harganya? Pedagang menjawab, karena BBM naik pak, apa urusannya BBM
naik dengannya naiknya harga telur, susu dan lain-lain, kata pak Mamat. Telur
dan susu inikan adanya di kampung sebelah pak, untuk diangkut kesini kan pakai
transport, biaya transport kan naik karena BBM naik.
Di samping itu ayam
Ras yang menghasilkan telur inikan butuh pakan. Pakannya dijual oleh perusahaan
di kampung sebelahnya lagi, sehingga mendatangkan pakan juga harus pakai transport.
Dengar-dengar, di perusahaan pakan juga sedang masalah pak, soalnya pengolahan
pakan masih gunakan BBM untuk produksi, sementara BBMkan naik, belum lagi
karyawan nuntut naik gaji. Maka satu-satunya jalan kalau perusahaan rasional
adalah menaikan harga produknya, yaitu untuk memenuhi naiknya biaya produksi
dan upah karyawan.
Semua barang kebutuhan
sehari-hari pak Mamat nasibnya sama dengan produk telur di atas. Sehingga,
harga sabun mandi, sabun cuci, harga beras, sayur, kebutuhan anak-anak sekolah semua
menjadi naik gara-gara Rp. 2000 rupiah.
Nasib Bu Mamat tidak
kalah pelik. Harga-harga kebutuhan untuk buat kue sekarang melonjak naik. Bu
mamat mau tidak mau harus menaikan harga jualan kuenya. Sementara langganan bu
Mamat juga mengalami persoalan ekonomi yang sama dengannya. Boro-boro beli kue,
untuk beli makanan pokok saja sekarang kesulitan, sehingga Bu Mamat mengurangi
penjualan kuenya.
Ada Bantuan Tunai
Pak Mamat diberi tahu
bahwa akan ada kompensasi dari kenaikan BBM itu dari pemerintah. Namun setelah
dihitung uang kompensasi itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan satu bulan,
dengan pengiritan di sana sini. Uangnya sebagian disisihkan Bu Mamat untuk
modal beli bahan pembuatan kue. Masalahnya, langganan Bu Mamat tidak lagi mampu
membeli kue sebanyak sebelum BBM naik.
Dari waktu-kewaktu
masalah kenaikan harga BBM tidak lagi ramai dibicarakan orang. Di televisi yang
biasanya ramai bahas BBM sekarang tidak lagi. Mungkin bagi TV tidak menarik
lagi, masalah BBM sudah sering diulang.
Sepinya pembahasan
orang akan kenaikan Rp. 2000 harga BBM, bukan berarti kehidupan pak Mamat
kembali seperti semula. Pak Mamat yang bekerja sebagai tukang kebun harus
banting tulang memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan bekerja pada bidang
lain. Sehingga Pak Mamat sering sakit-sakitan karena kecapaian.
Pak Mamat masih bisa
bersyukur masih bisa bekerja memenuhi kebutuhan hidup dengan cara yang halal.
Beberapa hari yang lalu, tetangga pak Mamat babak belur digebukin masa karena
kepergok sedang mencuri di salah satu toko elektronik. Ketika ditanya alasannya
mencuri, jawabnya karena terdesak kebutuhan rumah tangga. Sementara dia hanya
sebagai buruh bangunan.
Sumber: Koran Lombok Post