WE Online, Mataram - Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai sektor perbankan nasional masih banyak yang perlu dibenahi jika ingin mampu bersaing dalam pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
"Salah satu yang harus dibenahi adalah suku bunga perbankan Indonesia masih jauh di atas rata-rata bank di negara ASEAN lainnya," katanya pada acara seminar pertemuan tahunan industri jasa keuangan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (24/2/2015).
Kegiatan pertemuan tahunan industri jasa keuangan yang bertajuk "Memacu pertumbuhan, meningkatkan kesejahteraan" yang digelar oleh Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTB tersebut bertujuan sebagai ajang refleksi dan komunikasi antara OJK dengan para pihak terkait.
Menurut Firmansyah, masih relatif tingginya bunga bank umum nasional, tidak mustahil akan berimplikasi terhadap pembiayaan keuangan di sektor riil akan diserap oleh bank asing, sehingga bank-bank nasional menjadi "kering likuiditasnya" Sementara bank pembangunan daerah (BPD), termasuk Bank NTB juga belum begitu bisa diharapkan berperan lebih jauh untuk menopang pembiayaan bagi pelaku usaha di daerah karena masih berada dalam sistem bank umum kegiatan usaha (Buku) I, yaitu modal inti di bawah Rp1 triliun yang kegiatannya dibatasi.
Salah satu pembatasan itu adalah tidak diperbolehkannya transaksi elektronik dan dengan valuta asing. "Sementara era perdagangan bebas lintas negara, dua jenis transaksi itu menjadi pasar dalam hubungan bisnis," ujar Firmansyah yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Ekonomi Dewan Riset Daerah (DRD) NTB.
Menjadi pertanyaan juga, kata dia, produk apa yang bisa dijual Indonesia di era MEA yang mulai diberlakukan secara resmi pada akhir 2015. Sementara negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia sudah mampu memasarkan produknya ke Indonesia, seperti mobil Proton.
Malaysia bahkan menggandeng Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penjualan, sementara di negaranya sendiri mobil Proton mengalami kelesuan permintaan. "Produk Indonesia masih belum ada satu pun yang diangkat dan dibesarkan pemerintah sebagai produk asli unggulan Indonesia," katanya.
Menurut Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan (PKEP) Fakultas Ekonomi Universitas Mataram, pemerintah harus terus berupaya mempromosikan produk pelaku usaha dalam negeri, sehingga tergugah rasa nasionalisme cinta produk Indonesia. "Walaupun mungkin sangat jarang konsumen nasionalis, yaitu membeli dan lebih mencintai produk nasional walau berharga mahal dan kurang berkualitas, setidaknya dengan diperkenalkan, dipromosikan terus menerus oleh pemerintah, tidak menutup kemungkinan nasionalisme dalam berbelanja itu ada," kata Firmansyah. (Ant)
"Salah satu yang harus dibenahi adalah suku bunga perbankan Indonesia masih jauh di atas rata-rata bank di negara ASEAN lainnya," katanya pada acara seminar pertemuan tahunan industri jasa keuangan di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (24/2/2015).
Kegiatan pertemuan tahunan industri jasa keuangan yang bertajuk "Memacu pertumbuhan, meningkatkan kesejahteraan" yang digelar oleh Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NTB tersebut bertujuan sebagai ajang refleksi dan komunikasi antara OJK dengan para pihak terkait.
Menurut Firmansyah, masih relatif tingginya bunga bank umum nasional, tidak mustahil akan berimplikasi terhadap pembiayaan keuangan di sektor riil akan diserap oleh bank asing, sehingga bank-bank nasional menjadi "kering likuiditasnya" Sementara bank pembangunan daerah (BPD), termasuk Bank NTB juga belum begitu bisa diharapkan berperan lebih jauh untuk menopang pembiayaan bagi pelaku usaha di daerah karena masih berada dalam sistem bank umum kegiatan usaha (Buku) I, yaitu modal inti di bawah Rp1 triliun yang kegiatannya dibatasi.
Salah satu pembatasan itu adalah tidak diperbolehkannya transaksi elektronik dan dengan valuta asing. "Sementara era perdagangan bebas lintas negara, dua jenis transaksi itu menjadi pasar dalam hubungan bisnis," ujar Firmansyah yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi Ekonomi Dewan Riset Daerah (DRD) NTB.
Menjadi pertanyaan juga, kata dia, produk apa yang bisa dijual Indonesia di era MEA yang mulai diberlakukan secara resmi pada akhir 2015. Sementara negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia sudah mampu memasarkan produknya ke Indonesia, seperti mobil Proton.
Malaysia bahkan menggandeng Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan penjualan, sementara di negaranya sendiri mobil Proton mengalami kelesuan permintaan. "Produk Indonesia masih belum ada satu pun yang diangkat dan dibesarkan pemerintah sebagai produk asli unggulan Indonesia," katanya.
Menurut Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan (PKEP) Fakultas Ekonomi Universitas Mataram, pemerintah harus terus berupaya mempromosikan produk pelaku usaha dalam negeri, sehingga tergugah rasa nasionalisme cinta produk Indonesia. "Walaupun mungkin sangat jarang konsumen nasionalis, yaitu membeli dan lebih mencintai produk nasional walau berharga mahal dan kurang berkualitas, setidaknya dengan diperkenalkan, dipromosikan terus menerus oleh pemerintah, tidak menutup kemungkinan nasionalisme dalam berbelanja itu ada," kata Firmansyah. (Ant)
Editor: Achmad Fauzi
http://wartaekonomi.co.id/read/2015/02/24/46796/hadapi-mea-perbankan-indonesia-harus-benahi-suku-bunga.html
No comments:
Post a Comment