"Sulit kita berharap tamatan SMP yang masih mayoritas di masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB), mampu menjadi pekerja di hotel dan restoran atau institusi bisnis lain di kawasan Mandalika Resort," katanya di Mataram, Selasa (6/12).
Menurut dia, kawasan Mandalika menjadi salah satu dari tiga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang dicanangkan pemerintah pusat. Kawasan itu akan disulap sebagai pusat kawasan terpadu yang menjanjikan terbukanya lapangan kerja baru.
Namun, sebagian masyarakat merasa skeptis apa mampu memanfaatkan peluang dengan tingkat pendidikannya yang tergolong masih rendah.
Jawaban dari pertanyaan itu, kata Firmansyah, tergantung dari kesungguhan bagaimana merancang kawasan Mandalika.
"Apakah pemilik dan investor nantinya punya keinginan untuk mengakomodir potensi lokal dalam tata ruang perencanaan pembangunan kawasan tersebut," ujarnya.
Ia mengatakan, bila dilihat dari pengembangan kawasan ekonomi standar kepariwisataan seperti di Mandalika, akan terdiri dari kluster hotel dan restoran, kluster usaha mikro, kecil dan menengah, akan ada vila, lapangan golf, sekolah-sekolah dan lain-lain.
Dilihat dari model standar di atas, maka tenaga kerja yang terserap di kawasan Mandalika Resort, nantinya tentu tenaga kerja yang memiliki kualifikasi tinggi.
Melihat itu, lanjut Firmansyah, sulit bagi masyarakat NTB untuk berharap menjadi pekerja di hotel mewah atau vila kelas atas jika mengandalkan ijazah SMP.
"Tidak bisa paksakan. Persoalan bisnis tidak boleh dipaksakan mengakomodir wilayah sosial. Kalau tetap dipaksakan jangan harap investor akan injak kaki lagi di daerah ini," ucapnya.
Menurut Ketua Pusat Kajian Ekonomi Pembangunan (PKEP) Fakultas Ekonomi Universitas Mataram, ini walaupun dalam jangka pendek pelaku usaha lokal sulit berkontribusi dalam menyerap kesempatan kerja langsung, namun setidaknya ada faktor tidak langsung yang dapat dimanfaatkan dengan multi efek dari kawasan Mandalika tersebut.
Kawasan Mandalika, lanjutnya, harus mengakomodir unsur-unsur lokal, mulai dari budaya lokal sampai panganan lokal.
Menurut Firmansyah, bila ingin membangun kluster hotel dan restoran perlu memakai konsep etnik Sasak (Etnis Lombok). Misalnya dalam mendesain bangunan, ada pertunjukan budaya lokal dan makanan yang disajikan diutamakan berbahan lokal, pakaian pelaku usaha asli lokal dan seterusnya.
"Hal seperti itu barangkali bukan atas pemerintah yang mengaturnya, namun perlu kesepakatan bersama semua pihak untuk itu," katanya.
Firmansyah juga menilai konsep-konsep seperti desa budaya sebagai kluster hotel, di mana hotel-hotel itu dibangun dalam satu kawasan berbentuk desa dan kental dengan ciri tradisional masih jarang menjadi perhatian.
Oleh sebab itu, pemangku kepentingan juga perlu diberi ruang strategis, seperti pedagang kecil untuk menjual produk-produk lokal.
Strategis artinya tidak jauh dari kawasan induk (Mandalika), dilewati kendaraan yang menuju kawasan wisata.
"Salah satu contoh Desa Sade. Ketika wisatawan hendak ke pantai Kuta karena satu jalur, wisatawan dapat mampir dahulu di Desa Sade," ujarnya, seperti dilansir Antara.
Di Mandalika Resort seluas 1.175 hektare akan dibangun kawasan wisata terintegrasi yang dikelola oleh PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).
Badan usaha milik negara (BUMN) tersebut akan mulai membangun hotel pada 2015 dengan rencana anggaran sebesar Rp 357 miliar, termasuk untuk pembangunan akses jalan tahap lanjutan.
Hotel milik ITDC ini direncanakan akan menggunakan Marriot sebagai operator dengan target "ground breaking" atau peletakan batu pertama pada Agustus 2015, dan mulai beroperasi pada 2017.
Properti pariwisata lain yang memiliki target pembangunan mulai 2015 adalah lapangan golf dan satu hotel yang akan dibangun oleh MNC, satu hotel yang akan dibangun oleh Dharmakusala dan satu hotel milik ITDC.
Sumber: http://www.merdeka.com/peristiwa/resort-mewah-di-lombok-masyarakat-terancam-jadi-penonton.html
No comments:
Post a Comment