Fondasi yang dibangun dalam konstruksi teori ekonomi adalah human rationality. Manusia dikatakan selalu berperilaku rasional, artinya lebih suka yang banyak dari yang sedikit, menghitung untung rugi (materialistis) sebelum berperilaku dan selalu menyukai kesenangan dan menghindari kepayahan, demikian menurut filosuf J. Bentham.
Pemikir-pemikir psikologi yang mencoba memahami dan meramu perilaku ekonomi tidak sependapat dengan konstruksi tersebut. Manusia berperilaku tidak saja melulu didorong oleh faktor ekonomi yang dihitung dalam nilai moneter (uang) tapi juga ada faktor-faktor lingkungan atau kelembagaan, psikologi (delusi) dan kehidupan sosial lainnya. Pemikir ekonomi psikologi ini menjadi satu bagian dalam ilmu ekonomi yang dikenal dengan behavior economics.
Bila dipikir-pikir, buat apa masyarakat kita susah payah mengumpulkan uang untuk merayakan maulid nabi bila tidak didorong oleh nilai-nilai dalam masyarakatnya. Sudah tahu orang banyak penjara karena korupsi, tapi kenapa masih saja ada pejabat yang korupsi. Di sinilah salah satu fakta bahwa manusia terkadang tidak rasional (perspektif teori) dalam berperilaku. Tidak rasional dalam perspektif ekonomi menjadi rasional dalam konteks misalnya kelembagaan ekonomi.
Irasional Konsumen dan Inflasi
Bila sekiranya manusia selalu berpikir rasional maka tidak diperlukan tim pengendali inflasi. Semua akan berjalan menuju keseimbangan. Sebagian besar perokok tahu bahwa merokok dapat merugikan kesehatannya, tapi kenapa tetap banyak perokok, yang menyebabkan permintaan akan rokok meningkat. Walau dengan menempel gambar seram (penyakit macam-macam) pada sampul rokok tidak juga menurunkan niat orang merokok. Sama halnya dengan minuman keras. Sehingga, betapa banyak orang yang membeli barang yang tidak terlalu dibutuhkannya bahkan merugikannya.
Saya merenung dan berpikir, kenapa ketika harga produk naik kecuali barang pokok seperti beras atau bahan bakar semua menjadi panik. Dalam sebuah pertemuan di Bank Indonesia (BI) Mataram beberapa waklu lalu saya pernah menyampaikan untuk mempromosikan “konsumen cerdas”. Artinya, ketika harga daging melambung tinggi jangan dulu beli daging, ganti dengan ikan, ketika harga ikan naik ganti dengan produk lain yang menggantikan posisi ikan. Bahkan bila perlu sementara makan saja nasi dengan mie instant.
Ketika konsumen tidak membeli produk yang mengalami kenaikan itu selama dua hari saja, dapatkah pedagang untuk tetap menjual dengan harga tinggi? Hukum permintaan mengatakan ketika permintaan turun maka penawaran akan turun. Maka produsen akan menaikan permintaan dengan menurunkan harga. Kecuali tidak ada alternative lain (substitusi) akan barang tersebut.
Saya meyakini dengan semakin banyaknya swalayan di daerah harusnya inflasi tidak lagi bermasalah (ketika konsumen itu rasional). Kolega saya Dr. Iwan Harsono mengatakan produksi saat ini melimpah, tinggal persoalannya ada dan tiadanya produk itu pada waktu dan tempat yang benar.
Saya kira harga produk swalayan tidak akan ekstrim menaikan harga dalam waktu singkat dan ada banyak produk-produk pabrikan yang dapat menggantikan barang pertanian yang mengalami inflasi menggila itu. Walau itu untuk sementara saja.
Namun faktanya, ketika harga daging meninggi konsumen tetap saja membeli daging. Implikasinya, dengan harga tinggi permintaan produk tetap mengalami peningkatan sehingga akan terus mengalami kenaikan harga.
Ketika istri saya bercerita bahwa harga-harga dipasar mengalami kenaikan, harga daging saja kenaikannya dua kali lipat. Saya katakan padanya, ya sudah tidak usah beli daging dulu, beli yang lain sebagai penggantinya. Toh, kita tidak akan mati hanya karena tidak makan daging sehari atau dua hari ini.
Ingat, Deflasi Juga Penyakit
Dalam perkembanganya pemerintah umumnya pusing ketika inflasi melambung. Padahal harus disadari pula bahwa bukan hanya inflasi yang merupakan penyakit ekonomi tapi deflasi (penurunan harga) juga penyakit yang sama membahayakan perekonomian. Bedanya, inflasi itu penyakit bagi konsumen, namun pada posisi yang terlalu tinggi juga menjadi penyakit bagi produsen, karena tidak akan ada produk yang dijual dengan harga yang tidak lagi terjangkau oleh konsumen. Implikasinya produsen tidak akan menemukan konsumen yang akan membeli produknya di pasar.
Sedangkan deflasi adalah penyakit bagi produsen. Pada posisi deflasi yang berlebihan juga menjadi penyakit bagi konsumen. Karena tidak akan ada produk yang dijual bila harga jual tidak menguntungkan bagi produsen. Implikasinya konsumen tidak akan menemukan barang dan jasa di pasaran.
Sehingga demikian, persoalan inflasi harus disikapi dengan bijaksana oleh pemangku kepentingan. Karena inflasi pada posisi tertentu akan memberi dampak pada tumbuhnya keuntungan bagi produsen, sehingga dengannya skala usahanya meningkat dan serapan tenaga kerja menjadi meningkat pula.
Adalah sangat keterlaluan bila pada posisi inflasi yang sebenarnya masing relative wajar bahkan masih bisa ditenangkan, pemerintah menjadi panik dengan membuka keran import sebesar-besarnya. Apa implikasinya, produk menjadi melimpah di pasar dan harga menjadi tidak kompetitif lagi bagi petani atau pelaku usaha.
Akhirnya, memang posisi yang terbaik adalah posisi keseimbangan. Dengan posisi ekonomi seimbang, masyarakat (konsumen dan produsen) menjadi tenang beraktifitas. Namun yang perlu diperhatikan bahwa keseimbangan itu tidak mutlak menjadi dominan peran pemerintah, konsumen punya peran, produsen atau pedagang juga punya peran untuk itu. Tinggal bagaimana membangun kesadaran kolektif saja. (Firmansyah)
Sumber: http://www.lombokpost.net/2015/02/17/rasionalitas-konsumen-dan-inflasi/