WE Online, Mataram - Pengamat ekonomi dari Universitas Mataram Dr M Firmansyah menilai pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen yang ditargetkan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla selama lima tahun kepemimpinannya tidak realistis.
"Menurut saya, bila dilihat dari faktor eksternal dan internal harapan itu terlalu melangit," katanya di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (4/11/2014), menanggapi optimisme Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mampu mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar tujuh persen dalam lima tahun ke depan.
Menurut dia, tim ekonomi Jokowi-JK perlu mengurangi semangat yang berlebihan dalam menatap pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan. "Contohlah Tiongkok yang mulai terbiasa dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat dari 10 persen menjadi 7,5 persen," ujarnya.
Sebagai acuan, kata dia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sekarang ini masih sekitar lima persen lebih. Itu pun karena faktor keberuntungan pemerintahan presiden sebelumnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di mana kondisi ekonomi Amerika Serikat dan Eropa pada saat kepemimpinannya mengalami pelambatan sehingga suku bunga menjadi sangat tidak menarik bagi investor di sana.
Di sisi lain emerging market seperti Indonesia menjadi tujuan investor karena suku bunga bank di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lainnya.
"Hal itu menyebabkan Indonesia kebanjiran modal pada saat pemerintahan SBY, meskipun dalam jangka pendek," ucapnya.
Firmansyah menambahkan tim ekonomi Jokowi-JK harus mempertimbangkan beberapa hal untuk menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi. Pertama, ekonomi Amerika Serikat dan Eropa sudah semakin membaik. The Federal Reserves (FED) akan menaikkan bunga tiga hingga empat persen mulai tahun depan.
Perpindahan modal besar-besaran harus mulai diantisipasi pemerintah. Bila dipertahankan Bank Indonesia (BI) menerapkan bunga tinggi supaya menarik pemodal, implikasi lain sektor riil dan kredit konsumsi masyarakat akan beralih ke bank-bank di ASEAN yang bunganya jauh lebih rendah pada era perdagangan bebas 2015.
Kedua, rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan menurunkan nilai kompetitif industri dalam negeri dan menurunkan daya beli masyarakat. Hal itu akan menyebabkan konsumen lokal akan lebih nyaman membeli barang luar negeri yang lebih murah.
Pengalihan yang digambarkan sebagai subsidi sektor konsumsi ke sektor produktif dengan menerbitkan kartu pintar dan kartu sehat belum cukup untuk menutupi rendahnya nilai kompetitif industri dalam negeri dan daya beli masyarakat.
Keberadaan kartu itu tidak akan menjadikan masyarakat miskin lebih produktif. Seharusnya, pengalihan kompensasi kenaikan harga BBM yang merupakan faktor ekonomi juga disiapkan produktivitas di sektor ekonomi, misalnya tersedianya lapangan kerja.
"Masak urusan perut digantikan dengan kesehatan dan pendidikan," kata Firmansyah mengkritik kebijakan kompensasi kenaikan harga BBM dengan peluncuran Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Hal ketiga yang perlu dipertimbangkan pemerintahan Jokowi-JK, kata dia, adalah rencana moratorium penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) selama lima tahun juga berperan mengurangi konsumsi yang masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi. Faktor PNS, pemekaran daerah baru harus diakui menjadi pemicu konsumsi. Begitu juga dengan konsumsi kendaraan bermotor, perumahan, dan faktor lainnya.
Menurut Firmansyah, tim ekonomi Jokowi-JK perlu realistis menentukan target pertumbuhan ekonomi. "Saya kira rakyat tidak akan kecewa bila target tidak juga tinggi, namun berkualitas. Artinya, benar-benar nyata berpengaruh pada kualitas hidup masyarakat," pungkasnya. (Ant)
Sumber: http://wartaekonomi.co.id/news/get_news_by_id/37479/firmansyah-target-pertumbuhan-ekonomi-jokowi-terlalu-melangit.html
No comments:
Post a Comment