Sahabat, Suatu ketika saya melontarkan pertanyaan pada seorang kawan, pentingkah menurutnya menggemakan suara "AKU CINTA INDONESIA" untuk meningkatkan penjualan produk-produk nasional kita di era pedagangan bebas saat ini. Jawaban simpel keluar dari mulutnya, "bicara cinta ya, cinta kalau lebih murah ya kita pilih barang luar negeri"
Saya katakan ini perilaku rasional, entar dulu bicara nasionalisme, kalau kau jual lebih mahal namun kualitasnya rendah tidak akan dihampiri pembeli. Atau produkmu tidak punya nama yang mengangkat derajat pembeli maka percuma. Walaupun di KTPmu tertulis benar-benar asli Indonesia.
Saya juga yakin, mereka yang memperjuangkan nasionalisme, cinta produk-produk indonesia juga milih-milih. Beli di Mall besar, pakaian-pakaian luar negeri, sepatu italia, parfum perancis dan seterusnya. Karena berlanja terkait preferensi kenyamanan dan juga gaya hidup, maka yang mendukung kenyamanan (kualitas dalam bentuk dan kompetitif dalam harga) serta mengangkat status sosial yang laris manis terjual.
Kalau sekedar minum kopi, kenapa milih Starbucks, bukan warung kopi pinggir jalan. Bila berkeinginan makanan donat kenapa harus Dunkin Donuts bukan donat jajanan pasar? Disinilah tantangan pembangunan bisnis lokal yang tengah diserbu produk-produk asing.
Namun demikian, saya tetap yakin perlu yang namanya sosialisasi. Satu persen saja manusia Indonesia sadar dari 250 juta penduduk tentu pergerakan ekonomi lokal akan cukup dinamis. Tapi bukan tanpa usaha perbaikan dari sisi suply, produk kita harus terus diperbaiki kualitasnya dan kompetitif harganya.
Lalu apa yang perlu dilakukan pemerintah? kata orang tidak kenal maka tidak sayang, tidak sayang maka tidak akan mau beli. Artinya, harus diekspos kemasyarakat sebenarnya produk-produk asli punya Indonesia itu yang mana? Gerakan Cinta Indonesia harus secara simultan dilakukan untuk meningkatkan penjualan produk kita, minimal pada masyarakat kita sendiri.
Demikian, Sahabat
salam Dr. M Firmansyah