Wednesday 30 March 2016

BALADA PEMIMPIN versus BAWAHAN

Oleh:
Dr. M Firmansyah
(Dosen Sarjana dan Pascasarjana FEB UNRAM)
Sumber: Opini Lombok Post 30 Maret 2015

Ada pernyataan yang sering terlontar ketika bicara pemimpin, “pemimpin dalam memutuskan sesuatu tidak akan menyenangkan semua orang”. Ada yang bahagia menikmati keputusannya, ada pula yang “mencak-mencak” tidak terima bahkan ditambah bumbu kata-kata tidak enak didengar, mencibir pemimpin. Semua tergantung sungguh posisi kita di mana terhadap pemimpin. Bersama pemimpin dianggap kawan, menolak adalah lawan.

Ketidakpuasan karena dizholimi, disakiti oleh pemimpin bagi bawahan tidak diterima secara tunggal (sama) oleh semua bawahan. Jangan anggap semua bisa “nerimo” apa adanya dari tindakan pemimpin. Susah menemukan orang yang berkata “biarlah yang di atas sana yang membalas”. Sehingga, ada yang menempuh jalur hukum, mencari keadilan, mencari jalan keluar menyenangkan hati si pelapor. Kemenangan itu adalah kemenangan harga diri, kemenangan untuk dihargai dan dihormati lebih-lebih oleh pemimpin.



Melaporkan Pemimpin
Pemimpin yang dilaporkan anak buah karena dianggap memutuskan tidak adil bukanlah barang aneh saat ini. Ruang pelaporan biasanya tertuju pada PTUN dan juga Ombudsman. Yang dilaporkan pernah seorang Walikota, Bupati, Gubernur dan juga Rektor oleh dosen. Sekali lagi, saat ini lapor melapor bukan hal aneh, dan akan semakin biasa ke depan.
Terkadang perlu memakai kacamata lawan untuk memahami apa yang putuskannya. Karena bila hanya mengendepankan sisi diri sendiri, maka peluang-peluang mengerti dan memaknai sebuah makna menjadi kabur. Demikian, bila kondisi nash equilibrium dapat tercapai dalam konsep game theory-nya John Forber Nash.
Namun demikian, saya beberapa kali mencoba memaknai peta jalan pikiran pemimpin saya, dalam memutuskan jalan nasib karir seseorang kawan. Nyatanya buram, tidak mampu saya cerna, yang ada hanya terdengar cibiran, kok bisa, kok tega-teganya melakukan itu pada bawahan.
Mengatasi liarnya informasi seorang pemimpin memang harus turun gunung, menjelaskan duduk persoalan, kronologis masalah. Seperti yang dilakukan Ridwan Kamil (Walikota Bandung) saat diduga menganiyaya warganya. Liarnya informasi, licinnya persepsi sangat-sangat tidak baik bagi harmonisasi hubungan antara atasan dan bawahan. Bukan saja antara pemimpin yang memiliki konflik dengan bawahan namun dengan bawahan yang lainnya dan lembaga secara umum.
Pemimpin harus menjelaskan secara apa adanya, harus meyakinkan bawahan bahwa dia berjalan di atas aturan, bahwa ia melepas faktor-faktor tendesiusitas individu. Saya kira dengan ini memberi ruang bagi bawahan untuk menghormati atasan dan harmoni lembaga menjadi terjaga.
Jangan main-main untuk meloloskan tendensiusitas menjadi panglima, apalagi inprofesionalisme berada di barisan depan pikiran dan hati seorang pemimpin. Pemimpin meletakan sejarah, pemimpin pusat akumulasi doa, apakah itu doa baik atau doa buruk tergantung dari pemimpin itu sendiri. Di sinilah beratnya seorang pemimpin di mana tidak semua orang siap untuk itu.
Sekalipun kita menganut pola pikir rasionalitas materialistis, yang menolak unsur-unsur tidak kelihatan (intangibles) membayangi pikiran namun yang pasti semua akan berakhir dan semua akan mendapat balasan dari baik dan buruk perilaku yang pernah dilakukan. Ini adalah fakta empiris yang tidak terbantahkan.

Bawahan yang Baik
Menjadi bawahan bukanlah perkara yang sulit, selama pemimpinnya berjalan di atas aturan dan selalu mengayomi bawahan. Bawahan cukup mengedepankan kesetiaan dan penghormatan pada pemimpinnya. Saya selalu meyakini dan pegang bahwa lembaga tempat saya bernaung ibarat satu keluarga, baik buruknya cukup diselesaikan secara kekeluargaan saja, tanpa diketahui oleh tetangga. Apalagi tetangga itu menjadi langganan tempat curhat, sulit berharap masalah menjadi selesai.  
Semua itu bisa diselesaikan ketika pemimpin dan bawahan menanggalkan kebesaran masing-masing. Semua demi keluarga besar, semua demi harmonisasi lembaga yang sama-sama dibesarkan baik oleh pemimpin maupun bawahan.
Untuk menciptakan bawahan yang baik tentu memerlukan pemimpin yang baik. Walaupun karakter bawahan juga ditentukan oleh lingkungan dan dirinya sendiri kata John Herbert Mead tokoh sosiologi komunikasi.
Dengan demikian menutup tulisan ini, saya ingin menarik beberapa poin penting: pertama pemimpih harus berjalan di atas aturan bukan tendensiusitas, perlu bicara dari hati ke hati, kedua pemimpin harus memblokir liarnya informasi untuk tetap memberi penjelasan terkait persoalan kelembagaan yang ada, ketiga, menyelesaikan persoalan perlu menanggalkan baju kebesaran yang melekat, dan perlu dikedepankan rasa persaudaraan dan kehangatan keluarga.
Keharmonisan lembaga, bukan untuk saya bukan pula untuk kamu tapi untuk kita. Itu yang perlu tetap di jaga. 




   

No comments:

Post a Comment

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB DR. M FIRMANSYAH (DOSEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS) MENUNJU INDUSTRIALIS...