Oleh:
Dr. M Firmansyah
(Dosen Sarjana dan
Pascasarjana FEB UNRAM)
Sumber: Opini Lombok Post 30 Maret 2015
Ada
pernyataan yang sering terlontar ketika bicara pemimpin, “pemimpin dalam memutuskan sesuatu tidak akan menyenangkan semua orang”. Ada yang bahagia
menikmati keputusannya, ada pula yang “mencak-mencak” tidak terima bahkan ditambah bumbu kata-kata tidak enak didengar, mencibir pemimpin. Semua tergantung sungguh posisi kita
di mana terhadap pemimpin. Bersama pemimpin dianggap kawan, menolak adalah lawan.
Ketidakpuasan karena dizholimi, disakiti oleh pemimpin bagi bawahan tidak diterima
secara tunggal (sama) oleh semua bawahan. Jangan anggap semua bisa “nerimo” apa
adanya dari tindakan pemimpin. Susah menemukan orang yang berkata “biarlah yang di atas sana yang membalas”. Sehingga, ada
yang menempuh jalur hukum, mencari keadilan, mencari jalan keluar
menyenangkan hati si pelapor. Kemenangan itu adalah kemenangan harga diri, kemenangan
untuk dihargai dan dihormati lebih-lebih oleh pemimpin.
Melaporkan Pemimpin
Pemimpin
yang dilaporkan anak buah karena dianggap memutuskan tidak adil bukanlah barang
aneh saat ini. Ruang pelaporan biasanya tertuju pada PTUN dan juga Ombudsman.
Yang dilaporkan pernah seorang Walikota, Bupati, Gubernur dan juga Rektor oleh
dosen. Sekali lagi, saat ini lapor melapor bukan hal aneh, dan akan semakin
biasa ke depan.
Terkadang
perlu memakai kacamata lawan untuk memahami apa yang putuskannya. Karena bila
hanya mengendepankan sisi diri sendiri, maka peluang-peluang mengerti dan
memaknai sebuah makna menjadi kabur. Demikian, bila kondisi nash equilibrium dapat tercapai dalam
konsep game theory-nya John Forber
Nash.
Namun
demikian, saya beberapa kali mencoba memaknai peta jalan pikiran pemimpin saya,
dalam memutuskan jalan nasib karir seseorang kawan. Nyatanya buram, tidak mampu
saya cerna, yang ada hanya terdengar cibiran, kok bisa, kok tega-teganya
melakukan itu pada bawahan.
Mengatasi
liarnya informasi seorang pemimpin memang harus turun gunung, menjelaskan duduk
persoalan, kronologis masalah. Seperti yang dilakukan Ridwan Kamil (Walikota Bandung)
saat diduga menganiyaya warganya. Liarnya informasi, licinnya persepsi
sangat-sangat tidak baik bagi harmonisasi hubungan antara atasan dan bawahan.
Bukan saja antara pemimpin yang memiliki konflik dengan bawahan namun dengan
bawahan yang lainnya dan lembaga secara umum.
Pemimpin
harus menjelaskan secara apa adanya, harus meyakinkan bawahan bahwa dia
berjalan di atas aturan, bahwa ia melepas faktor-faktor tendesiusitas individu.
Saya kira dengan ini memberi ruang bagi bawahan untuk menghormati atasan dan harmoni
lembaga menjadi terjaga.
Jangan
main-main untuk meloloskan tendensiusitas menjadi panglima, apalagi inprofesionalisme
berada di barisan depan pikiran dan hati seorang pemimpin. Pemimpin meletakan
sejarah, pemimpin pusat akumulasi doa, apakah itu doa baik atau doa buruk
tergantung dari pemimpin itu sendiri. Di sinilah beratnya seorang pemimpin di mana
tidak semua orang siap untuk itu.
Sekalipun
kita menganut pola pikir rasionalitas materialistis, yang menolak unsur-unsur
tidak kelihatan (intangibles) membayangi
pikiran namun yang pasti semua akan berakhir dan semua akan mendapat balasan
dari baik dan buruk perilaku yang pernah dilakukan. Ini adalah fakta empiris
yang tidak terbantahkan.
Bawahan yang Baik
Menjadi
bawahan bukanlah perkara yang sulit, selama pemimpinnya berjalan di atas aturan
dan selalu mengayomi bawahan. Bawahan cukup mengedepankan kesetiaan dan
penghormatan pada pemimpinnya. Saya selalu meyakini dan pegang bahwa lembaga
tempat saya bernaung ibarat satu keluarga, baik buruknya cukup diselesaikan
secara kekeluargaan saja, tanpa diketahui oleh tetangga. Apalagi tetangga itu
menjadi langganan tempat curhat, sulit berharap masalah menjadi selesai.
Semua itu
bisa diselesaikan ketika pemimpin dan bawahan menanggalkan kebesaran
masing-masing. Semua demi keluarga besar, semua demi harmonisasi lembaga yang
sama-sama dibesarkan baik oleh pemimpin maupun bawahan.
Untuk
menciptakan bawahan yang baik tentu memerlukan pemimpin yang baik. Walaupun
karakter bawahan juga ditentukan oleh lingkungan dan dirinya sendiri kata John
Herbert Mead tokoh sosiologi komunikasi.
Dengan
demikian menutup tulisan ini, saya ingin menarik beberapa poin penting: pertama pemimpih harus berjalan di atas
aturan bukan tendensiusitas, perlu bicara dari hati ke hati, kedua pemimpin harus memblokir liarnya
informasi untuk tetap memberi penjelasan terkait persoalan kelembagaan yang
ada, ketiga, menyelesaikan persoalan
perlu menanggalkan baju kebesaran yang melekat, dan perlu dikedepankan rasa
persaudaraan dan kehangatan keluarga.
Keharmonisan
lembaga, bukan untuk saya bukan pula untuk kamu tapi untuk kita. Itu yang perlu
tetap di jaga.
No comments:
Post a Comment