Tuesday 10 December 2019

REFLEKSI 1 TAHUN ZUL-ROHMI: NAIK LEVEL BERNARASI



OLEH:
DR. M FIRMANSYAH
Dosen FEB Unram dan Penulis Novel Sang Walikota
Sumber: SuaraNTB 24 September 2019

Waktu berjalan tanpa terasa, satu tahun sudah Dr. Zul dan Dr. Rohmi (duo doktor) memimpin NTB. Satu tahun tentu bukan waktu yang representative menilai sukses tidaknya impian Gubernur dan Wagub membangun NTB. Namun demikian, publik tentu berharap selama satu tahun ini sudah ada lembaran cerita yang mulai ditorehkan. 

Beberapa hari terakhir berbagai persoalan mengemuka dan menjadi bahan diskusi di ruang publik. Mulai dari konseptual industrialisasi, pengiriman pelajar keluar negeri sampai program zero waste ramai diperbincangkan dan ditelisik dari berbagai perspektif. Ada yang berkata gagal sembari mengeluarkan kritik pedas, ada juga yang menganggap sukses. Dua-duannya kita anggap biasa sebagai sebuah dinamika.



Naik Kelas Bernarasi

Di era Zul-Rohmi yang paling saya rasakan adalah kita naik level dalam narasi berdiskusi. Harus diakui Dr. Zul telah meletakan narasi bahkan literasi yang lebih tinggi dari pemerintahan sebelumnya sebagai pemantik diskusi publik. 

Wacana industrialisasi misalnya, baru kali ini saya merasakan OPD secara serius memutar otak untuk menerjemahkan industrialisasi yang dimaksud gubernur. Diskusi terus digagas, tidak saja di dinas, lembaga intelektual yang didirikan pemerintah, seperti DRD (Dewan Riset Daerah) juga terus saja membahas industrialisasi. Road map atau peta jalan mulai dipikirkan, Rencana Induk Industri Daerah juga direvisi.

Selama setahun ini menurut saya narasi industrialisasi belum menemukan titik terang yang meyakinkan semua pihak. Walau-pun sebagian OPD mungkin menganggukan kepala pertanda mengerti, namun sebenarnya ada kegamangan dalam benak mereka dalam mengejewantah mimpi besar gubernur ke dalam program. 

Saya sendiri merasa diskursus industrialisasi tiada mengapa larut dalam diskusi Panjang. Bahkan mudah-mudahan diskusi itu merembet dari dunia kampus sampai warung-warung kopi. Karena prinsipnya industrialisasi bukan sekedar membangun industri berupa pabrik namun merubah sosial kultur masyarakat yang berorientasi industri. Meminjam istilah Hegel, bila industrilisasi terus saja menjadi tesis dan melahirkan anti tesis, tentu berbagai sintesis akan lahir kemudian.

Bagaimana merealisasikan industrialisasi di tanah NTB, yang relative terbatas sumber dayanya. Sementara kita tahu, industrialisasi di negara-negara maju berawal dari ekosistem inovasi dan telah berjalan berpuluh-puluh bahkan ratusan tahun lamannya. Inovasi itu buah kolabarasi erat antara pemerintah, kampus dan dunia bisnis. Inovasi lahir dari laboratarium Research and Development (R dan D) yang tiada henti dikembangkan. Sesungguhnya, kita tentu belum cukup ideal mengarah ke sana.

Industrialisasi di tanah NTB bisa saja dilakukan namun butuh energi besar, butuh mesin birokrasi yang berkecepatan tinggi, butuh dunia usaha yang memiliki kapasitas modal dan SDM yang memadai serta butuh kampus yang tiada hari tanpa riset inovasi dan juga butuh kultur masyarakat yang mensuport iklim industri. Saya mengamati satu tahun ini belum kokoh jembatan yang menghubungkan antara keempat aspek ini. Tentu lebih memprihatinkan ketika, masing-masing tidak paham industrialisasi apa gerangan yang dimaksud pak Gubernur. 


Tidak Kalah Heboh

Hal yang sama sengit dalam perdebatan adalah program pengiriman siswa ke luar negeri dan juga program zero waste. Secara kasat mata tentu saja dua program ini sangat penting bahkan menurut saya sangat luar biasa sehingga perlu menjadi prioritas. Namun demikian, narasi akan eksistensi program dan berbagai ruang kosong pemicu berdebatan perlu dicarikan penjelasan terbaik. Seringkali a simetri informasi menjadi pemicu kegaduhan, tidak heran Hebert Simon memasukan a simetri informasi sebagai bagian dari teori bounded rationality yang dikembangkannya.

Dua jalur saya kira penting untuk dilakukan atau minimal dipertahankan bila sudah dilakukan, yaitu di samping langkah strategis untuk masyarakat NTB dimaikan tangan-tangan birokrasi juga perlu didorong tangan masyarakat sendiri yang menyanggah tubuhnya. Sederhananya, beasiswa ke luar negeri penting untuk disiapkan pemerintah dengan berbagai sumbernya, namun tidak juga kalah penting pemerintah meningkatkan kapasitas output putra dan putri NTB sehingga mampu bersaing secara fair merebut beasiswa bergengsi yang ditawarkan di berbagai belahan dunia. 

Pun demikian mengatasi sampah, sangat penting dibenahi melalui program atau kegiatan pemerintah, namun jauh lebih penting sentuhan-sentuhan kultur dalam memperkuat kesadaran masyarakat dalam membuang sampah segera dicarikan formulasi. Dan masalah kultur tidak bisa diselesaikan dengan program kedinasan apalagi berbasis proyek. Semoga bila belum dilakukan satu tahun ini, diupayakan 4 tahun berikutnya terselesaikan.

Namun lagi-lagi saya ingin katakan, karena diskursus macam ini tidak sering dilakukan sebelumnya sehingga ramai dibahas dan diperdebatkan di ruang publik. Kita belum cukup benchmark untuk menilai berbagai upaya itu, wajar perdebatan menjadi cukup runcing dan sengit. Harus diakui, Dr. Zul sukses melahirkan program yang menimbulkan diskusi dan berbagai macam persepsi dan intepretasi. Namun bila tidak mampu dikelola baik, tentu akan menjadi bom waktu bagi pemerintah sendiri. 

Semoga di tahun kedua dan seterusnya ada pola konvergensi narasi dan melahirkan Nash Equilibrium bila ditelisik dari game theory-nya John Forbes Nash. Harapan saya Dr. Zul perlu menyikapi berbagai perdebatan yang muncul dan dengan sigap mencarikan win-win solution untuk NTB yang lebih gemilang ke depan. 

      


No comments:

Post a Comment

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB DR. M FIRMANSYAH (DOSEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS) MENUNJU INDUSTRIALIS...