Pemprov NTB gagal membujuk Maskapai Jet-Star untuk tetap mengudara di
langit NTB. Padahal, sudah banyak upaya yang dilakukan, salah satunya keberangkatan
Wakil Gubernur dan Tim ke Australia untuk bernegosiasi dengan manajemen Jet
Star.
Pemprov menyanggupi untuk membayar subsidi dalam bentuk market fund sebesar 1 milliar rupiah
kepada Jet-Star asal Jet-Star tetap bertahan, namun tidak juga memberi hasil. Terakhir
terdengar kabar BPBD NTB akan melobi Garuda Indonesia untuk mengisi kekosongan
rute Perth-Lombok yang ditinggalkan Jet-Star.
Setelah Jet-Star harus say good
bye di langit NTB. Kapal Pesiar milik PT. Pelni yang melayani rute
Lombok-NTT juga harus siap-siap untuk tidak lagi melaut di sini. Dengar-dengar
kabar, Pemprov NTB kembali akan melobi PT. Pelni untuk tetap membuka jalur yang
melayani rute NTB dengan tetangga sebelah timur itu.
Penulis menyadari kegundahan hati Pemprov NTB atas dua kasus di atas.
Dan penulis-pun angkat topi atas maksimalnya upaya pemangku kepentingan di
sini, dalam memepertahankan jembatan pemicu ekonomi daerah tersebut.
Lebih-lebih NTB sedang gencar-gencarnya mendorong pembangunan pariwisata
daerah beberapa tahun terakhir. Tidak bisa dipungkiri kehadiran Jet- Star
memang cukup mendongkrak jumlah kunjungan wisatawan, khususnya dari Australia.
Multiplier effeknya jelas tidak sedikit bagi ekonomi daerah.
Faktor Bisnis dan
Moral
Sungguhpun sedemikian semangatnya pemerintah untuk menaham pelaku bisnis
di daerah, namun pertimbangan keuntungan adalah menjadi panglima dalam setiap
keputusan bisnis. Tidak bisa kita menahan sektor usaha yang tidak memberikan
benefit, sungguh-pun perusahaan itu milik Negara (BUMN).
Kita tidak bisa berharap pemodal untuk berbaik hati membangun daerah
dengan tulus tanpa ada imbal balik benefit yang memadai baginya. Sehingga kita
perlu berpikir ulang, mengatur kembali strategi pembangunan di daerah ini
sehingga pasar menjadi lebih potensial untuk segala jenis usaha, tentu dengan
pemikiran yang realistis.
Penulis tidak berharap adanya kesan, NTB begitu “ngoyo” untuk mempertahankan swasta di sini, menarik-narik bajunya
walaupun sang empunya tidak lagi menoleh kebelakang. Lebih sedih lagi, bila pengharapan
yang begitu besar itu dimanfaatkan oleh pebisnis untuk terus saja minta fasilitas,
subsidi dan hal lainnya.
Ketika BPBD yang berharap Garuda untuk menggantikan Jet-Star penulis
kira sah-sah saja. Harus ditelaah lebih jauh, bukankah persoalan hengkangnya
Jet-Star karena kurangnya penumpang menuju Australia, sehigga maskapai itu rugi.
Bila itu persoalannya apakah kita ingin menimpakan kerugian itu ke Garuda?
Sungguh-pun Garuda adalah perusahaan milik Negara, tentu Garuda tidak ingin
ketimpa kerugian. Bila Garuda rasional, tentu akan menolak tawaran BPBD.
Terjebak Dengan
Pembangunan Besar
Sepanjang penulis menyaksikan dinamika perencanaan pembangunan NTB
beberapa tahun terakhir. Ada kesan, NTB ingin menunjukan bahwa NTB bisa
melakukan pembangunan besar, mungkin pada tahap “kedewasaan” menurut teori linear stage development-nya Rostow.
Semangat untuk sejajar dengan daerah maju lain begitu tergambar dari raut wajah
daerah ini.
Bandara internasional Lombok, sempat juga heboh Ampenan Harbor, dan terakhir
KEK Mandilika adalah konsep-konsep pembangunan yang direncanakan fantastis.
Kita nampaknya abai akan pendewasaan kelembagaan pasar, modal sosial dan
kekuatan birokrasi dalam mendesain pembangunan itu.
Pasar masih lesu di sini, sehingga kita harus bersabar untuk
menghadirkan mega investor. Kita perlu pikirkan untuk menciptakan pasar
potensial dan kokoh, yang tidak terpengaruh krisis. Modal sosial juga masih
anjlok, keamanan yang belum begitu terjamin adalah ciri rendahnya modal sosial
tersebut. Birokrasi juga masih belum professional, buktinya serapan anggaran
masih relative kecil, padahal sekarang telah masuk kuartal 4 tahun 2014.
Sebagai penutup, penulis ingin katakan bila harus pergi biarlah pemodal
besar itu pergi. Kita harus fokus memperkuat pembangunan ekonomi kreatif yang
terlahir dari Rahim budaya masyarakat kita. Bahkan dengan modal seadanya.
Kita perlu meniru China yang menjadikan 2014 ini sebagai tahun reformasi
ekonomi. Loh apanya yang mau direformasi? Bukankah China telah memiliki segala-galanya
saat ini. Cina telah membiarkan penurunan pertumbuhan ekonominya dari 7,5
menjadi 7,2 persen sebagai jalan memperkuat kapasitas ekonomi domestik, dengan
cara memenuhi permintaan pasar domestic dari pada untuk diekspor. China mencoba
beralih haluan, dari produksi barang menjadi produk jasa yang lebih ramah
lingkungan.
Sebagai penutup, jalanlah dengan apa adanya, dengan kekuatan investasi
rakyat dan tidak melulu menunggu investor asing besar yang terkadang hanya
hadir di daerah menyisahkan residu semata. Maafkan bila tidak berkenan. (Sumber: SuaraNTB, 14/10/2014)
No comments:
Post a Comment