Dampak dari penerapan UU Migas 2009
memasuki babak baru. Setelah pemerintah menerapkan pajak ekspor bahan mentah
hasil tambang, dalam memaksa perusahaan membangun smelter kemudian disikapi
dengan merumahkan 80 persen karyawan. Akhirnya, PT. Newmont mengambil jalan
final yaitu arbitrase internasional.
Arbitrase diambil setelah tidak
ditemukan kata sepakat antara pemerintah dengan Newmont. Newmont berharap untuk
diberi ijin mengeskpor bahan mentahnya, dengan uang jaminan 25 juta dollar
untuk pembangunan smelter di dalam negeri.
Saya tidak tahu seberapa intens Newmont
melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat. Padahal jika Newmont sedikit
sabar menunggu proses negosiasi antara pemerintah pusat dengan PT. Freeport
yang tengah berjalan terkait smelter tentu akan berdampak pada Newmont.
Konsekuensi dari tindakan Newmont
adalah tetap berjalannya pengenaan pajak ekspor. Setidaknya sampai keputusan
arbitrase selesai, itupun bila Newmont menang. Bila kalah, Newmont harus segera
membangun smelter atau menanggung biaya pajak ekspor yang memberatkan.
Tindakan Newmont tak ayal
disayangkan beberapa pihak. Menteri Perdagangan mengatakan tindakan Newmont
akan merugikan dirinya sendiri (Okezone, 4/7/2014). Gubernur NTB mengecam
tindakan Newmont yang menggugat pemerintah Indonesia (SuaraNTB, 5/7/2014).
Luapan kekecewaan beberapa pihak
adalah wajar, ditengah upaya-upaya negosiasi yang tengah dilakukan dalam
mencari jalan keluar terbaik.
Nasib Karyawan
Setelah Newmont mengambil langkah
arbitrase, jelas akan mengaburkan kepastian nasib karyawan yang dirumahkan
perusahaan. Padahal sebelumnya media-media lokal NTB yang memawancarai beberapa
stock holder di daerah memberi angin
segar, bahwa sebentar lagi karyawan dapat kembali bekerja.
Memang terasa dilematis, satu sisi
kita prihatin dengan ancaman PHK karyawan Newmont. Sisi lain, pemerintah harus
mulai memikirkan masa depan dunia pertambangan yang lebih baik. Dengan memberi
nilai tambah yang lebih luas dan keuntungan yang lebih rasional dari hasil
tambang yang dimiliki bumi pertiwi.
Bagi pemerintah mempertahankan UU
Minerba yang diundang-undangkan 2009 lalu adalah jalan rasional. Ketika
pemerintah harus mementahkan lagi UU itu demi beroperasinya kembali PT Newmont
maka kredibilitas pemerintah akan anjlok pada titik nadir.
Sehingga tidak ada jalan lain bagi
PT Newmont untuk tetap beroperasi di tanah air, yaitu bangun smelter atau
membayar pajak ekspor bahan mentah. Lebih-lebih setelah ditempuhnya arbitrase
internasional, maka akan memperkuat desakan itu.
Ada beberapa kalangan yang menganggap
bahwa pembangunan smelter sulit direalisasikan. Karena beberapa kendala yang
menghadang misalnya biaya yang relatif mahal, pasokan listrik yang cukup besar
dan bahaya limbah pabrik bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.
Namun smelter bukan hal mustahil
untuk dibangun, mengingat Indonesia bukanlah tidak memiliki smelter. Salah satu
smelter terbesar yang Indonesia punya adalah di Gresik. Sehingga, bila itu
sulit dibangun kenapa ada perusahaan smelter di Gresik yang sudah beroperasi
beberapa tahun.
Jalan Keluar yang Rumit
Akhirnya babak baru hubungan
industri pertambangan dengan pemerintah semakin sulit dan rumit. Newmont dengan
tetap mengacu pada kontrak karya sedangkan pemerintah bertahan pada UU harus head to head dalam pengadilan arbitrase internasional.
Kemarahan Gubernur NTB, Dr. TGH
Zainul Majdi karena tindakan Newmont sebagai luapan kekecewaan atas upaya
bersama menyelesaikan persolan ini secara cepat diruntuhkan oleh Newmont
sendiri. Namun demikian, upaya mencari solusi terbaik tetap kita nantikan.
Walaupun kecewa, pemerintah daerah
sebagai tempat di mana Newmont beroperasi diharapkan tetap memberi kesempatan
untuk membuka jalan keluar terbaik. Pemerintah daerah harus tetap menunjukan
kearifan, sehingga memberi preseden yang baik bagi investor ke depan. Tidak
saja bidang pertambangan namun bidang apa saja di daerah tercinta ini.
No comments:
Post a Comment