Saya ditugasi Pembantu Dekan III untuk membawakan materi etika
dan kultur belajar di perguruan tinggi di depan ribuan mahasiswa baru (Maba) FE
Universitas Mataram, pada bulan Agustus 2014. Dengan antusias mereka mendengarkan
ceramah saya, sesekali ketika saya menyampaikan candaan mereka tertawa lepas di
auditorium berkapasitas ribuan tersebut.
Rasanya
mereka cukup enjoy dengan acara itu, tidak ada beban dan keterpaksaan di raut
muka calon-calon pemimpin bangsa ini.
Ada hal yang lain ketika saya memperhatikan
penampilan maba pada ospek kali ini. Tidak ada lagi penampilan aneh-aneh, tidak
adalagi peloncohan macam-macam dari kakak panitia. Berbeda dulu ketika saya
mengikuti ospek, kami dikerjai habis-habisan. Belum lagi kekerasan fisik dan
psikis yang maba terima saat itu, menyebabkan dendam kesumat sulit dipangkas.
Padahal mahasiswa umumnya sangat membenci pelanggaran HAM, mengecam
pembunuhan dan penyiksaan terhadap manusia. Namun, ironinya tidak jarang maba
meninggal dunia karena tidak tahan dengan penyiksaan yang dilakukan senior
dalam acara ospek yang tidak ada manfaat sama sekali itu.
Jadi maba serba salah, datang cepat
dihukum datang telat apalagi lebih keras hukumannya. Kami harus cari benda
macam-macam untuk kebutuhan ospek, itupun kami lakukan sepulang ospek yang
hampir magrib. Belum sempat merebahkan badan untuk istirahat karena penatnya
keseharian dalam ospek, sudah disibukan untuk mencari barang aneh-aneh.
Saya dongkol sekali dengan kakak panitia,
teman-teman maba yang cantik selalu jadi perhatian, disuruh nulis surat
cintalah, disuruh ngerayulah. Tidak saja yang cewek, kakak panita yang
perempuan tidak ketinggalan keranjingan memperhatikan teman-teman saya yang
laki, tapi khusus yang ganteng. Maba seperti saya ini jauh dari radar pandangan
kakak panitia, ya maklum sudah hitam, muka pas-pasan pula.
Kakak panita yang berambut gondrong dan
beranting panjang sok-sokan menasehati kami maba untuk belajar rajin. Padahal
mereka sendiri sudah enam tahun kuliah ndak juga selesai. Saya pernah
bermasalah dengan salah satu diantara mereka, pasalnya saya tidak merasa ada
salah malah disuruh guling-guling di rumput. Padahal hari masih pagi, sehingga
embun masih membasahi rumput lapangan kampus tempat kami dikerjai. Saya menolak
guling-guling, dipaksanya sampai saya terjatuh dan terpaksa guling-guling.
Saat pertama mulai belajar, ternyata saya
satu kelas dengan kakak yang ngerjai saya itu. Karena beberapa matakuliah tidak
lulus, terpaksa dia harus programkan lagi di semester ini. Dalam hati saya
bergumam, ini orang sok nasehati orang lain malah dirinya sendiri tidak keurus.
Beberapa kali dia harus pinjam buku catatan kuliah saya, itupun ketika
mendekati ujian.
Alhamdullilah, ospek kali ini tidak lagi
seperti yang dulu-dulu. Di kampus saya budaya kekerasan sudah mulai dihilangkan
dalam ospek, saya tidak tahu dikampus lain. Sebagai mahasiswa kita harus sadar,
bahwa yang perlu kita tonjolkan adalah intelegensi bukan kekerasan. Kalau ingin
banyak pelatihan fisik, kedisiplinan yang ketat, rambut diplontos ada
tempatnya, masuk saja akademi kepolisian atau akademi militer. Pelatihan macam
itu sangat diperlukan oleh mereka, itu-pun tidak keras sembarang keras, namun
ada prosedurnya, ada takarannya.
Di kampus mahasiswa belajar akan
materi-materi ilmu pengetahuan, belajar akan penelitian (riset) ilmiah dan juga
melakukan pengabdian kepada masyarakat. Tiga unsur itu, tidak ada hubungan sama
sekali dengan kekerasan. Mahasiswa harus enjoy belajar untuk menyelesaiakan
studinya, sehingga budaya kekerasan dalam ospek sudah tepat bila dihilangkan
selama-lamanya.
No comments:
Post a Comment