Tuesday, 14 October 2014

IQ Jenius Vs Pas-Pasan

Dalam suatu kesempatan saya mengantar keluarga di Rumah Sakit Jiwa Selagalas Mataram untuk menjenguk saudara yang sedang direhabilitasi di sana. Secara tidak sengaja saya bertemu seorang kawan yang juga tengah dirawat di rumah sakit itu. Awalnya saya lupa-lupa ingat dan tidak percaya, apa betul dia adalah kawan lama yang belasan tahun tak pernah berjumpa. Bedanya sekarang badannya tambah bongsor, melebihi dahulu ketika kami masih bersama di sekolah menengah atas (SMA).
Saya beranikan diri menghampirinya dan mendekati jeruji besi yang mirip sekali penjara di rumah sakit itu. Dia terus berjalan, bolak-balik dengan menggerak-gerakan jari tangannya. Saya pastikan itu benar kawanku dengan menanyakan namannya. Subhanallah, dia mengutarakan namanya dengan baik, dia tahu siapa dirinya bahkan dia masih ingat dengan jelas siapa saya, bahkan nama istri saya-pun masih dia ingat. Kebetulah “karena jodoh” istri saya adalah teman sendiri dari SMP sampai SMA, sehingga menjadi teman dia juga.

Awalnya pembicaraan kami seperti orang normal lain, dia merespon apa-apa yang saya tanyakan dengan baik. Namun lama-kelamaan omongan-nya makin ngelantur. Ketika saya bertanya kenapa dia berada di rumah sakit itu, dia menjawab, saya tidak tahu, yang saya tahu saya ini hanya orang lucu, sambil berjalan mondar mandir dari ujung ke ujung ruangan itu.
Melihat tingkat sahabat lama ini, tidak terasa  saya meneteskan air mata. Saya merasa sedih, bukan saja karena dia sahabat sepermainan di saat SMA namun saya mengenal dia sebagai sosok yang jenius. Dia punya prestasi yang membanggakan.
Nampaknya bukan dia saja, beberapa deretan kawan-kawan jeniusku yang lain saat SMA juga harus kehilangan akal sehat. Setidaknya ada tiga orang yang saya dengar kabarnya mengalami stres yang relatif sama. Ada yang nekat menerobos jalan yang berlawanan di suatu kawasan di Jakarta, sehingga harus diobati secara tradisional di kampungnya, ada yang sudah dinyatakan drop out di kampus ternama di Jogjakarta dan bahkan ada yang berlari-lari telanjang di kampungnya. Kesemua orang ini tercatat sebagai siswa-siswa jenius, dan saat SMA belajar dalam kelas yang sama yaitu kelas unggulan.
Ada apa dengan mereka-mereka ini? Apakah karena terlalu serius belajar di kala SMA? Karena bahkan ketika jam keluar main, mereka ini masih saja terus belajar karena ketatnya persaingan antara mereka. Atau ada beban hidup yang dialami sedemikian beratnya sehingga tidak mampu lagi mereka pikul. Saya tidak tahu persis penyebabnya, karena saya bukanlah seorang psikolog. Yang saya tahu, saya pernah mengenal mereka sebagai sosok yang hebat dan berprestasi di kala SMA.
Perlu diambil pelajaran berharga dari kisah ini. Seorang jenius tidak selalu harus kontinue kejeniusannya, walau ada banyak orang jenius sejak kecil berlanjut sampai masa tua dan jenius sampai akhir hayatnya. Seorang yang pas-pasan bisa saja menggapai kejeniusan yang tinggi ketika dia telah menemukan siapa dirinya dan apa sebenarnya yang dia cintai.
Saya teringat perkataan seorang sahabat yang menyelesaikan studi lanjutnya di Amerika untuk S-2nya dan Australia untuk S-3nya. Kita ini memiliki kecerdasan rata-rata, artinya bukanlah orang jenius yang memiliki IQ seperti Einstain atau Habibie namun bukan berarti tidak dapat sukses. Orang jenius untuk mengerti suatu hal cukup baca sekali, orang yang tidak terlalu jenius mungkin memerlukan membaca dua atau tiga kali baru kemudian mengerti.

Artinya, seorang yang tidak jenius butuh bekerja dua atau tiga kali lipat dari orang jenius untuk menjadi sukses. Kita belajar dua atau lebih kali bukan menjadi masalah, yang penting pada akhirnya menjadi sukses, dan semangat belajar ini menjadikan orang tidak jenius semakin menunjukan kemapaman dalam karirnya.

No comments:

Post a Comment

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB DR. M FIRMANSYAH (DOSEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS) MENUNJU INDUSTRIALIS...