Dalam suatu kesempatan saya mengantar keluarga di Rumah Sakit
Jiwa Selagalas Mataram untuk menjenguk saudara yang sedang direhabilitasi di sana.
Secara tidak sengaja saya bertemu seorang kawan yang juga tengah dirawat di
rumah sakit itu. Awalnya saya lupa-lupa ingat dan tidak percaya, apa betul dia
adalah kawan lama yang
belasan tahun tak pernah berjumpa. Bedanya sekarang badannya tambah bongsor, melebihi dahulu ketika kami masih
bersama di sekolah menengah atas (SMA).
Saya beranikan diri menghampirinya dan mendekati
jeruji besi yang mirip sekali penjara di rumah sakit itu. Dia terus berjalan,
bolak-balik dengan menggerak-gerakan jari tangannya. Saya pastikan itu benar
kawanku dengan menanyakan namannya. Subhanallah, dia mengutarakan namanya dengan
baik, dia tahu siapa dirinya bahkan dia masih ingat dengan jelas siapa saya, bahkan nama istri saya-pun masih dia ingat. Kebetulah
“karena jodoh” istri saya adalah
teman sendiri dari
SMP sampai SMA, sehingga menjadi teman dia juga.
Awalnya pembicaraan kami seperti orang
normal lain, dia merespon apa-apa yang saya
tanyakan dengan baik. Namun lama-kelamaan omongan-nya makin ngelantur. Ketika saya bertanya kenapa dia berada di
rumah sakit itu, dia menjawab, saya tidak tahu, yang saya tahu saya ini hanya
orang lucu, sambil berjalan mondar mandir dari ujung ke ujung ruangan itu.
Melihat tingkat sahabat lama ini, tidak
terasa saya meneteskan air mata. Saya merasa
sedih, bukan saja karena dia sahabat sepermainan di saat SMA namun saya mengenal dia sebagai sosok yang jenius.
Dia punya prestasi yang membanggakan.
Nampaknya bukan dia saja, beberapa deretan
kawan-kawan jeniusku yang lain saat SMA juga harus kehilangan akal sehat. Setidaknya
ada tiga orang yang saya dengar
kabarnya mengalami stres yang relatif sama. Ada yang nekat menerobos jalan yang
berlawanan di suatu kawasan di Jakarta, sehingga harus diobati secara
tradisional di kampungnya, ada yang sudah dinyatakan drop out di kampus ternama di Jogjakarta dan
bahkan ada yang berlari-lari telanjang di kampungnya. Kesemua orang ini
tercatat sebagai siswa-siswa jenius, dan saat SMA belajar dalam kelas yang sama
yaitu kelas unggulan.
Ada apa dengan mereka-mereka ini? Apakah
karena terlalu serius belajar di kala SMA? Karena bahkan ketika jam keluar
main, mereka ini masih saja terus belajar karena ketatnya persaingan antara
mereka. Atau ada beban hidup yang dialami sedemikian beratnya sehingga tidak
mampu lagi mereka pikul. Saya tidak tahu persis penyebabnya,
karena saya bukanlah seorang psikolog. Yang saya tahu, saya pernah mengenal mereka sebagai sosok yang
hebat dan berprestasi di kala SMA.
Perlu diambil pelajaran berharga dari kisah ini.
Seorang jenius tidak selalu harus kontinue kejeniusannya, walau ada banyak
orang jenius sejak kecil berlanjut sampai masa tua dan jenius sampai akhir
hayatnya. Seorang yang pas-pasan bisa saja menggapai kejeniusan yang tinggi
ketika dia telah menemukan siapa dirinya dan apa sebenarnya yang dia cintai.
Saya teringat perkataan seorang sahabat
yang menyelesaikan studi lanjutnya di Amerika untuk S-2nya dan Australia untuk
S-3nya. Kita ini memiliki kecerdasan rata-rata, artinya bukanlah orang jenius
yang memiliki IQ seperti Einstain atau Habibie namun bukan berarti tidak dapat
sukses. Orang jenius untuk mengerti suatu hal cukup baca sekali, orang yang
tidak terlalu jenius mungkin memerlukan membaca dua atau tiga kali baru
kemudian mengerti.
Artinya, seorang yang tidak jenius butuh
bekerja dua atau tiga kali lipat dari orang jenius untuk menjadi sukses. Kita belajar dua
atau lebih kali bukan menjadi masalah, yang penting pada
akhirnya menjadi sukses, dan semangat belajar ini menjadikan orang tidak jenius
semakin menunjukan kemapaman dalam karirnya.
No comments:
Post a Comment