Biarkan dahulu kita bukan siapa-siapa, tidak dapat juara kelas
atau bahkan selalu dipandang sebelah mata. Rasa-rasanya kita begitu mindernya
karena tidak ada yang menganggap kita penting. Bandingkan dengan sang bintang
kelas, menjadi pujian guru-guru dan kawan-kawan. Belum lagi face kita pas-pasan
(hitam plus jerawatan), bukan pula tergolong orang kaya raya, kemana-mena pakai
mobil mewah kayak di sinetron-sinetron. Sehingga menambah kegalauan hidup di
masa yang harusnya kata orang indah di kala itu.
Saya berpikir pembuktian kesuksesan
diri bukan prestasi SD sampai SMA, tapi pada perguruan tinggi. Perguruan tinggilah
menjadi dasar pijakan kehidapan seseorang. Gagal di perguruan tinggi, sangat
besar kemungkinan gagal dalam keberlanjutan hidup, atau kalau-pun sukses
mungkin sukses yang tidak maksimal. Dan saya
akan
bercerita akan hal ini.
Tidak sedikit seorang di kala SMA hanya
menjual tanpang dan gaya serta incaran empuk gadis-gadis SMA menjadi orang yang
tidak berarti di masa kuliah dan setamat kuliah. Orang macam ini, akhirnya
menganggur dan memang kadang
menikah dengan wanita kaya, namun mungkin yang lebih tua dan tidak menarik dibandingkan wanita sepantarannya. Namun apa boleh buat karena
keadaan, tampang gagah menjadi modal untuk
memenuhi kebutuhan
hidup ke depan.
Oleh karena itu, ketika terlanjur masuk
dalam lingkaran perguruan tinggi, bersyukurlah dan tancap gas semangat lebih
kencang lagi. Kita harus sekuat tenaga merubah kebiasaan di saat SMA yang malas
belajar, merubah kebiasaan masa SMA yang hidup tanpa arah dan harapan, apalagi kerjaannya mikirin pacar melulu. Kita
juga harus merubah kebiasaan SMA yang suka keluyuran dan buang-buang waktu.
Kampuslah pijakan kaki pertama kita untuk
sukses, jadikan kampus sebagai bagian dari yang kita cintai. Hidupkan hari-hari
kita dengan aktif belajar dan menimba ilmu tanpa kenal lelah di kampus. Abaikan
hal-hal yang menganggu kedekatan kita dengan kampus.
Betapa banyak kisah mahasiswa yang hanya
mengejar indeks prestasi tinggi dengan menghalalkan segala cara menjadi susah
hidupnya setelah lulus di perguruan tinggi. Prestasi akademiknya semu, bukan
sesuatu yang membahagiakan bagi dirinya.
Ketika orang macam ini menemukan karirnya
setelah wisuda, katakan menjadi pegawai negeri atau bekerja di kantor swasta, akan
terus menjadi nomor dua bahkan terakhir. Tidak akan lahir hal-hal menonjol
dalam dirinya dan membanggakan dirinya apalagi orang lain.
Coba perhatikan orang-orang sukses di birokrasi (menjadi
dirjen atau kepala dinas) atau di menjadi menager di perusahaan swasta,
kemungkinan besar mereka dulunya pernah menjadi aktifis kampus atau pernah
menorehkan prestasi yang gemilang saat masa kuliahnya. Contoh yang paling nyata
adalah miliarder Indonesia si anak singkong Chairul Tanjung, dia kuliah di
kedokteran gigi dengan serius menimba ilmu dan menimba pengalaman bisnis ketika
berada di kampus.
Jangan bandingkan
dengan pejabat politik (bupati/walikota atau gubernur). Tidak sedikit menjadi
pejabat politik bukan karena modal kepintaran, namun hanya modal suara. Modal
suara diperoleh harus bermodal uang, sehingga orang-orang berprestasi jarang
mau masuk dalam dunia politik. Tidaklah mengherankan ada seorang bupati yang
ijasahnya nggak jelas, jangan ditanya serius atau tidak kuliahnya. Ada anggota
dewan yang mantan penjudi, narkoba dan seterusnya. Kenapa demikian, karena
pejabat politik terbentuk bukan karena proses panjang, namun instan dan
pragmatis.
Dahulu memang banyak orang tidak sekolah,
namun suskes dalam bisnis. Saya katakan dengan tegas, jangan lagi ikuti contoh
itu jaman sekarang. Dahulu orang yang tidak sekolah namun lihai dalam berdagang
dapat sukses mengelola perusahaan karena persoalan bisnis belumlah rumit seperti
sekarang ini. Jaman
sekarang kelihaian itu
tidak cukup, bisnis sekarang ini telah terintegrasi secara global, sehingga
orang-orang yang sekolah saja yang mampu memanfaatkan peluang persaingan.
Oleh karena itu, bersungguh-sungguhlah
ketika diri kita saat ini tengah berada di perguruan tinggi. Saat-nya sekarang
kita mengukir sejarah hidup kita, sejarah hidup bukan terukir ketika toga di kepala
dikenakan dan kita diberi secarik kertas sebagai tanda kelulusan dan angkat
kaki dari kampus. Tapi ketika langkah pertama kita menginjakan kaki dikampus
biru sampai titik terakhir kehidupan.
No comments:
Post a Comment