Beberapa waktu lalu, saya dan kolega (Dr. Hermanto dan Dr. Taufik
Chaidir) dapat disposisi dari Pak Dekan untuk menghadari rapat evaluasi
perkembangan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Mandalika di Ruang Sidang Utama
Gubernur NTB. Rapat dipimpin langsung Pak Sekda NTB. Turut hadir saat itu, Profesor
dan Peneliti hubungan internasional dari Jepang, peneliti, anggota dewan
kawasan dan seorang investor dari India. Sebagian dari mereka adalah Tim yang
telah melatih beberapa pihak (birokrat dan akademisi) di NTB untuk pengembangan
kawasan KEK yang diselenggarakan di Jakarta dan sebagian dikirim ke Jepang.
Saya dan kolega merasa sedikit kecewa. Dalam rapat itu Kami sama sekali tidak
diberi kesempatan untuk ikut menyumbangkan argumentasi. Saya maklumi, mungkin
Pak Sekda ada keperluan lain sehingga rapat yang dimulai jam 9 pagi harus
berakhir jam 11 lebih sedikit. Jadi kami disuruh datang mendengarkan saja dan
setelah itu pulang.
Dr. Agusdin (kolega saya juga di Fakultas) memberi pemaparan singkat
akan hasil pelatihannya di Jakarta dan di Jepang dalam mendesign KEK Mandalika.
Hasilnya, saya sedikit kaget, desain KEK yang ditawarkan untuk Mandalika tidak
jauh beda dengan yang ada dalam literature. Tidak ada kareteristik unik seperti
yang saya bayangkan sejak disetujuinya KEK oleh Presiden SBY.
Kluster
Industri dan Fakta Empiris
Dalam literature biasanya mengambil case negara-negara maju seperti Amerika,
Inggris, Jepang dan Cina. Silahkan ketik saja industrial cluster di jurnal-jurnal internasional online, maka akan muncul ratusan bahkan
ribuan penelitian terkait pengembangan kawasan ekonomi spasial seperti KEK ini.
Dalam pemaparan itu, kurang lebih KEK didesain sebagai lokasi hotel dan
restoran, lokasi sekolah tinggi pariwisata, rumah sakit, lapangan golf, ada clustering
UMKM, ada lembaga penguat seperti dewan kawasan atau pemerintah dan clustering industries lainnya.
Saya katakan, model KEK sebenarnya model pengembangan clustering industries atau kata lain agglomeration economics. Dua faktor penentu
perkembangannya ditentukan natural advantages
(dalam hal ini pariwisata) dan knowledge
spillovers.
Kebanyakan terbentuknya kluster industri karena faktor alamiah sebagai
dorongan perusahaan sejenis mencari economies
of scale. Dan biasanya karena berada dipusat bahan baku. Terbentuknya ada yang ratusan tahun baru permanen, ada yang
puluhan tahun bahkan ada yang gagal total didesain.
Contoh yang paling nyata kawasan sukses adalah Sillicon Valey. Di sana adalah
tempat berkumpulnya perusahaan software dan hardware serta berbagai industri turunannya
dan berada di Amerika Serikat. Ada juga wine
cluster di New Zaeland, industry perfilman di Hollywood, ada juga
Kitakyushu City sebagai kluster industri heavy
dan chemical, dan masih banyak lagi yang
lain.
Format Umum Kluster
Dalam kluster itu, ada industri inti, ada industri determinan (turunan),
ada industri pendukung, ada lembaga penguat kelembagaan (seperti R&D
universitas, balai latihan kerja, lembaga pemerintah dan lembaga perbankan). Semua
saling menyokong satu sama lain, sehingga knowledge
spillovers menjadi jalan. Tidak saling mematikan. Mereka menikmati
kedekatan satu sama lain karena semua menjadi murah, semua kebutuhan telah
tersedia, baha baku, tenaga kerja siap pakai, jasa keuangan dan seterusnya
tersedia dalam satu kawasan kluster.
Karena terbukti sukses mengembangkan kawasan industri, model clustering industries menjadi primadona,
sebagai model pengembangan industri di berbagai belahan dunia. Beberapa Negara
mencoba mengembangkan by design
padahal awalnya terbentuk secara alamiah. By design ada yang sukses, namun
tidak sedikit juga yang gagal dan tinggal kenangan.
Banyak penelitian yang telah membahas kluster industri ini, dari A
sampai Z, jadi bukan lagi bermain dalam tataran teoritis namun implementasi
riil dan fakta empiris yang sangat kuat. Salah satu penelitian itu adalah
disertasi doktor pembimbing saya saat S-2, Prof. Mudrajad Kuncoro saat menyelesaikan
studinya di Melbourne University.
Bagi akademisi yang konsen dalam bidang ekonomi pengembangan wilayah
mungkin pernah membaca buku “Industrial
Agglomeration: Facts and Lesson For Developing Countries, yang diedit Mitsuhiro
Kagami dan Masatugu Tsuji, diterbitkan oleh Institute
of Developing Economies, JETRO. Buku ini kumpulan riset-riset pengembangan clustering atau agglomeration industries yang dapat memberi pengetahuan lebih akan
konsep KEK ini.
Dalam konteks ini, saya ingin mengatakan persoalan KEK adalah persoalan
aplikasi teoritis sekaligus empiris ekonomi kawasan, sehingga perlu mendalami
banyak hal didalamnya. Pahami logika aglomerasi industri dan konsentrasi
spasial ekonomi, pahami logika central place dalam regional economics, pahami manajemen pemasaran dan pahami aspek
kelembagaan (institutional economics),
tidak saja dalam bentuk organisasi namun juga kelembagaan masyarakatnya.
Persoalannya tidak hanya meletakan ini dan itu dalam satu kawasan
Mandalika, namun perlu lebih jauh memahami bagaimana filosofi pembentukannya,
apakah nanti diantara mereka terbangun kesepakatan untuk tidak saling mematikan
akibat iklim bisnis, apakah knowledge
spillovers akan berjalan? Kalau hanya meletakan ini di sini dan itu di sana,
maka yakinlah KEK hanya akan jadi impian.
Mudah-mudahan, Tim penyusun tidak berharap mengerjakan pembangunan
Kawasan itu dalam satu paket, lebih tidak masuk akal lagi dalam satu waktu dan
kesempatan. Sebenarnya bisa saja bila investor mau, namun bila semua diberikan
pada investor besar masyarakat lokal kebagian apa? Yakinlah, karena SDM, mereka
belum dapat berperan aktif dalam KEK, setidaknya untuk jangka pendek ini.
Tim kita dorong untuk mulai memetakan step by step kluster apa yang perlu segera dibangun (yang bisa
dikendalikan) dan mencerminkan industrialisasi pariwisata lokal. Misalnya,
clustering gerabah, undang pengusaha gerabah untuk dibangunkan kluster di KEK
Mandalika selanjutnya promosikan.
Sebagai penutup, saya berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama kita
sudah dapat membaca progress dan tata ruang KEK yang telah disiapkan Tim
penyusun sebagai bahan analisis kita bersama dan menunjukan mesin sebenarnya
sudah dihidupkan.
Sumber:
Harian SuaraNTB, 29/09/2014
No comments:
Post a Comment