Hampir setiap kita waktu kecil pernah ditanya, yang
tanya itu mungkin orang tua, guru atau paman, bila sudah besar mau jadi apa. Jawabannya tentu beragam. Ada banyak
cita-cita yang ingin dicapai setiap kita, jadi dokter, pilot, astronot, guru,
tentara atau polisi bahkan jadi presiden.
Dari mana munculnya cita-cita itu? Tentu
dari pemahaman sempit masa kanak-kanak dan juga dari apa yang diyakini dan
harapkan saat itu. Jangan tanyakan yang berat-berat deh, apalagi kita taya makna dari cita-cita itu. Kita kaklumi saja apapun jawaban anak-anak. Ingin suntik orang, ingin bawa pesawat terbang, mau lihat bulan, ingin jadi
guru seperti bapaknya atau ingin pegang senjata seperti tentara atau polisi adalah alasan logis dari pertanyaan makna dari cita-cita.
Dalam suatu kesempatan, anakku dan
teman-temannya yang masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak pernah ditanya oleh
gurunya akan cita-cita mereka. Ada satu anak laki-laki dengan semangat
mengacungkan tangan sembari berkata, “Ku ingin jadi ustad bu Guru”. Guru mendengar
ungkapan polos anak ini dengan perasaan bahagia, sambil berkata, “wah, mulia
sekali cita-citamu nak”. Ketika ditanya lagi, “kenapa kamu mau jadi ustad,
nak?”. Anak ini menjawab, “supaya bisa pukul santri Bu Guru, seperti bapak
saya”. Sambil tertawa sang guru, geleng-geleng kepala.
Seperti anak-anak lain, saya juga punya
cita-cita. Sejak sekolah dasar saya tergila-gila dengan sosok TNI (Tentara
Republik Indonesia). Segala upaya saya lakukan untuk menggapai cita-cita itu.
Mulai belajar berenang di sungai dekat rumah, sampai dengan meninju habis pohon
pisang nenek di belakang rumah. Semua itu demi menjaga fisik untuk menjadi
seorang tentara.
Ketika SMP dalam memposisikan diri untuk
menjadi tentara semakin mantab. Saya melatih fisik lebih keras lagi. Saya tidak
mau ketinggalan ketika ada perlombaan gerak jalan atau sejenisnya di antara
sekolah. Karena gerak jalan adalah rutinitas pekerjaan tentara, dan bagi saya itu
jalan untuk kesana.
Sampai menginjak SMA saya semakin keras lagi melatih diri,
karena saat menjadi tentara sudah lebih dekat lagi. Rasanya tidak ada keinginan
lain yang ingin saya gapai selain menjadi tentara. Saya menjadi salah satu
pasukan pengibar bendera (PASKIBRAKA) dari kelas satu sampai kelas dua, karena
setiap kelas tiga tidak diperkenankan ikut lagi untuk lebih fokus menghadapi
ujian kelulusan. Saya sering menjadi pemimpin upacara bendera di sekolah, dan
beberapa kali menjadi komandan pasukan gerak jalan SMA kami. Semua demi menjadi
tentara.
Tiba saatnya yang dinanti-nanti, saya lulus
SMA dengan nilai yang cukup untuk menjadi seorang tentara. Saya mendaftarkan
diri pada seleksi AKABRI dengan beberapa orang kawan lain di sekolah.
Seleksi demi seleksi kami lewati, sampai akhirnya beberapa
tahapan saya harus tersingkir dari proses seleksi itu. Saya dinyatakan tidak
lulus AKABRI. Saya sedih sekali, namun saya masih menganggap ini adalah
keberhasilan tertunda, saya tidak boleh patah semangat. Saya harus mampu lulus
tahun depan, karena saya mencita-citakannya, menyiapkannya bukan waktu yang
pendek.
Walau demikian, kadang kala kita perlu
memberikan kesempatan Tuhan menentukan jalan hidup kita. Realitas yang kita
harapkan belum tentu sesuai dengan harapan yang bertahun-tahun kita
damba-dambakan. Inilah falsafah ontologi kehidupan, yaitu bagaimana kita
memandang realitas kehidupan seperti alurnya Allah SWT, bukan memaksakan alur
kita menabrak takdir kehidupan yang telah ditetapkan-Nya. Dalam sesuatu yang
tampak ternyata ada skenario yang tengah mengatur kehidupan kita.
Saya putuskan untuk ikut UMPTN yaitu ujian
masuk perguruan tinggi negeri, sambil menunggu kesempatan tahun depan menjadi
Taruna AKABRI. Saya dinyatakan lulus
seleksi UMPTN dan menjadi Mahasiswa Fakultas Ekonomi Unram. Dari si nilah
sejarah hidup saya terukir, saya mulai menemukan diri saya di kampus ini.
Hari-hari saya mengikuti kuliah betapa menyenangkan. Di
samping saya harus berhadapan dengan cara belajar baru, saya juga menemukan
kawan-kawan baru.
Ketika menerima materi dikelas saya jarang
duduk posisi belakang, saya biasanya mengambil posisi paling depan. Saya tidak
ingin, materi yang disampaikan dosen berlalu begitu saja. Saya sendiri belum
memahami setan apa yang merasuk sehingga keranjingan untuk belajar seperti ini.
Kalau-pun benar itu setan yang membisiki saya, itu pasti setan baik.
Prestasi akademik saya semakin lama semakin
memuaskan. Dan setelah nilai dibagikan ke masing-masing mahasiswa, saya tidak
ketinggalan untuk mengirim ke orang tua kopiannya. Betapa senangnya orang tua,
melihat nilai akademiku yang selalu bagus setiap semester.
Saya merasa bahwa Allah telah menemukan
saya jalan menunju cita-cita, dan jalan Allah pasti didukung alam semesta. Alam
tidak akan memaksakan bila yang menciptakan alam tidak menggariskan itu, alam
akan memberi sinyal untuk mengusir kita untuk tidak terus bertahan di situ, dan
memberi ruang pemahaman untuk mengambil alih apa yang digariskan sang Maha
Kuasa dan menjadi garisan takdir kita.
Sampai pada akhirnya, saya putuskan untuk
tidak lagi mengikuti seleksi AKABRI, cita-cita yang saya dambakan dari sekolah
dasar sampai menengah atas. Dan sekarang saya tidak henti-hentinya bersyukur
karena Allah SWT tidak meluluskan saya menjadi tentara, karena saya yakin
pikiran Allah jauh lebih tepat, jauh lebih bermanfaat untuk saya.
No comments:
Post a Comment