Dalam perkuliahan sebenarnya apa yang paling dicari mahasiswa?
Jujur, saya belum melakukan survey untuk menjawab secara pasti, namun saya
yakin yang paling penting adalah nilai IPK. Pemilik otak jenius, belajar
banting tulang untuk memperoleh IPK tinggi. Pemilik otak jongkok belajar
banting piring untuk membuat “repean” semalam suntuk, juga demi IPK tinggi.
Jadi semua butuh IPK tinggi.
Bedanya, ada yang belajar keras dan jujur menggapai IPK
tinggi. Ada setengah jujur, artinya kadang belajar “sendiri” kadang juga
belajar buat repean. Ada yang sama sekali tidak ada usaha, kerjanya kalau tidak
nyontek, ya minta keteman. Tipe yang terakhir ini memiliki moto posisi
menentukan prestasi. Saat ujian, ibarat kuda yang baru dilepas dari kandang,
cepat mencari posisi aman (kursi paling belakang saat) ketika ujian.
Saya beberapa kali menemukan mahasiswa
macam ini. Awalnya saya tidak memperhatikannya, namun saya tahu dia sedang
meminta jawaban ke temannya. Ketika mata saya tertuju padanya, tampangnya
seperti seorang profesor yang tengah berpikir keras dalam kekosongan di
otaknya. Mendalam sekali dia berpikir.
Dalam suatu waktu ketika mengawas ujian, dari kejauhan saya
melihat banyak mahasiswa yang berlari masuk kelas desak-desakan. Awalnya saya
tidak tahu ada masalah apa, nampaknya pada berebut masuk untuk menentukan
posisi duduk yang strategis, jauh dari jangkauan tatapan mata dosen yang
sangar-sangar itu.
Setelah semua buku dan tas disimpan di
depan kelas, saya bagikan soal dan lembar jawabannya. Dengan muka cerah mereka
mulai mengerjakan soal, sesekali ada yang setelah membaca soal sembari berpikir
akan jawabannya. Bagi yang telah mempersiapkan diri pasti terasa nyaman,
ruangan sekitarnya terasa sejuk dan rasanya jari jemari tidak mau diam untuk
menulis. Ngalir dan lancar. Bagi yang tidak belajar, dunia seperti di neraka,
panas. Hanya bengong yang bisa dilakukan, jari jemari malas untuk digerakan.
Mungkin dalam hatinya beroda, Tuhan berilah ke ajaiban supaya dosen pengawas
itu tiba-tiba kebelet pipis. Lebih bagus lagi perutnya mulas-mulas, sehingga
akan berlama-lama di WC. Kalau itu terjadi setidaknya kuperoleh jawabannya.
Saya katakan terhadap mahasiswa yang berdoa
kayak gini, bahwa doanya kemungkinan ini sulit terkabul. Pertama Tuhan tidak akan dengarkan doa meminta celaka orang lain, kedua, sebelum ke kampus dosen telah melakukan
aktifitas bongkar muat, sehingga kecil kemungkinan tiba-tiba kebelet kencing
apalagi buang air besar.
Setelah siap mengerjakan soal ujian.
Alangkah kaget dan jengkel pemilik falsafah lokasi menentukan prestasi. Apa
pasal, saya ambil kursi dan saya putuskan untuk duduk ngawas di deretan kursi paling
belakang. Betapa apesnya, sia-sia repean yang dibuat ngebut semalam, sia-sia
bela-belain duduk paling belakang, dekat dengan si A yang berjanji untuk
memberi jawaban. Alih-alih bisa kerja leluasa, malah diawasi kayak narapidana
macam ini.
Sebenarnya tidak sulit bagi dosen untuk
mengetahui bahwa hasil ujian mahasiswa itu karena kerja sama atau bukan.
Biasanya hampir seratus persen dikatakan kerja sama (terserah apa dia memberi
atau hasil pemberian) yaitu bila jawaban sama persis namun bukanlah jawaban
yang benar.
Oleh karena itu, moto “lokasi menentukan prestasi” harus
segera ditinggalkan dalam ujian, tapi ditingkatkan dalam proses belajar
mengajar. Artinya, lokasi duduk paling depan sangat menentukan prestasi, karena
akan semakin jelas apa yang diterangkan dosen dan meningkatkan kemampuan kita
dalam memahami materi kuliah.
No comments:
Post a Comment