Saturday 11 October 2014

Target Penurunan Kemiskinan NTB

Kita mesti hargai keinginan Gubernur untuk menaikan target penurunan kemiskinan NTB dari 1 persen menjadi 2 persen pertahun. Implikasinya RPJMD harus direvisi, rentang waktu 2013- 2018 diharapkan NTB mampu menekan kemiskinan lebih kuat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Keinginan Gubernur ini, perlu kita apresiasi dan menjadi pemacu kerja mesin birokrasi NTB ke depan.

Saya sepakat dengan kepala Bappeda, penetapan 1 persen pertahun adalah angka teoritis tim penyusun RPJMD saat itu (SuaraNTB/ 13/ Sept/ 2014). Kebetulan penulis juga terlibat di dalamnya. Ada beberapa angka yang muncul memang dari estimasi standar statistika ditambah dengan logika-logika kegiatan pendukung yang akan dilakukan NTB ke depan.


Menetapkan angka 2 persen bahkan 5 persen bukanlah hal yang sulit. Namun tetap perlu realistis, karena ketika pencapaian jauh dari yang diharapkan akan menjadi boomerang bagi pemerintah daerah. Integrasi ekonomi yang kita hadapi sekarang, menyebabkan pemerintah daerah sangat kecil berkontribusi dalam menentukan fluktuasi angka miskin dan tidak penduduknya sendiri.

Penentu Kemiskinan
Sebelum memutuskan peningkatan target penurunan angka kemiskinan, sebaiknya kita perkuat dahulu instrument-instrumen yang digunakan untuk mencapai target itu. Ketika hanya memasang target namun instrumennya seperti pesawat tanpa awak (auto pilot), rasa-rasanya kurang realistis dan tidak akan berubah posisi kemiskinan kita.

Kita mesti paham, bahwa peran kondisi dan kebijakan eksternal NTB sangat kuat menciptakan kemiskinan. Anjloknya bursa saham Amerika dan Eropa misalnya, akan berdampak pada keterpurukan Indonesia. Sakitnya Indonesia secara nasional akan berdampak pada NTB. Belum lagi kebijakan-kebijakan liberal pemerintah pusat, dampaknya akan terasa oleh masyarakat daerah.

Rencana pemerintah ke depan yang akan kembali menaikan harga BBM dan gas Elpiji menjadi ancaman serius terhadap upaya penurunan kemiskinan. Setiap ada kenaikan harga permanen, akan muncul keseimbangan (equilibrium) ekonomi baru. Ketika harga naik (inflasi tinggi), maka standar hidup ekonomi tentu akan meningkat. Pada posisi ini banyak masyarakat terjerembab dalam lubang kemiskinan, karena tidak bergeser pada keseimbangan baru. Sehingga, masyarakat yang berada pas pada garis kemiskinan atau sedikit di atasnya, menjadi penghuni di bawah garis kemiskinan.

Tugas pemerintah daerah adalah mendorong masyarakat untuk turut ikut pada posisi equilibrium yang baru itu.  Masalahnya, lagi-lagi pemerintah tidak punya cukup instrument untuk mendorong masyarakatnya pada posisi tersebut. Liberalisasi ekonomi dewasa ini menyebabkan penentu hidup masyarakat kita telah diserahkan pada mekanisme pasar. Ketika pasar menganggap daerah ini menguntungkan maka akan menjadi muara modal dan segala turunannya, bila tidak maka NTB tidak akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Mengatasi kemiskinan, tidak bisa mengadalkan hibah-hibah, kompensasi BBM dan sejenisnya. Tapi instrument yang paling utama adalah tersediannya lapangan pekerjaan. Hibah-hibah bila dibenturkan dengan teori konsumsi Keynes hanya bersifat sebagai outonomous yang mendorong konsumsi sesaat, bukan meningkatkan disposable income yang berasal dari peningkatan pendapatan.

Namun, sisi lain pemerintah tidak mungkin membuka lapangan pekerjaan secara memadai karena liberalisasi itu, maka dengan kebijakan-kebijakannya pemerintah diharapkan mendorong untuk tumbuh lapangan kerja baru. Sehingga, sifatnya hanya sekedar memfasilitasi, mengkordinasi dan menstimulasi munculnya usaha baru.

Berpikir Optimis
Sama halnya dengan Gubernur, Penulis juga cendrung optimis kalau kita bisa menaikan target penurunan kemiskinan ke depan. Dengan catatan segala potensi kita keluarkan semua, terutama menghadapi moment-moment perdagangan ke depan.

Untuk kesekian kalinya penulis katakan diberbagai kesempatan bahwa MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) akan menjadi peluang sekaligus tantangan bagi kehidupan ekonomi kita ke depan. Dengan economics of scale yang semakin meluas akan banyak menyerap lapangan kerja baru, sehingga jumlah tenaga kerja menjadi lebih luas. Namun belum tentu dirasakan oleh pelaku usaha di daerah, karena mereka harus bersaing dengan rekannya dari Negara lain.

Untuk dipahami, Indonesia menjadi surganya pasar ASEAN bahkan di dunia. Dalam konteks MEA, beberapa Negara ASEAN jauh-jauh hari telah kursus bahasa Indonesia untuk menghadapi MEA. Mereka telah pasang target, bahwa Indonesia adalah tempat mereka tinggal dalam kerangka MEA.

Ada beberapa hal yang perlu didorong ke depan, pertama percepat terbangunnya struktur dan infrastruktur kawasan ekonomi khusus Mandalika, kedua, buatkan blue print kawasan Rinjani sebagai calon geopark internasional dan kawasan tambora sebagai laboratorium alam. Ke tiga, menyiapkan blue print perdagangan daerah menghadapi MEA, ke empat memfasilitasi terbentuknya sentra-sentra industry UMKM dan identifikasi berbagai keunggulan comparative produk asli yang kita punya.

Sebagai penutup, Penulis ingin dorong Gubernur untuk mulai memperkokoh formasi birokrasi yang daerah ini punya bila ingin memenangkan persaingan dan menurunkan kemiskinan. Ketika membaca media bahwa Gubernur telah memerintahkan masing-masing SKPD menyusun laporan perkembangan kegiatan adalah langkah yang sangat positif. Penulis angkat topi untuk itu. Bila segala perangkat sudah dikerahkan, insya Allah angka penuruan kemiskinan 2 persen pertahun bukan hal sulit untuk digapai. (Sumber: SuaraNTB)


No comments:

Post a Comment

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB DR. M FIRMANSYAH (DOSEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS) MENUNJU INDUSTRIALIS...