Kita mesti hargai keinginan Gubernur untuk menaikan
target penurunan kemiskinan NTB dari 1 persen menjadi 2 persen pertahun.
Implikasinya RPJMD harus direvisi, rentang waktu 2013- 2018 diharapkan NTB mampu
menekan kemiskinan lebih kuat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Keinginan
Gubernur ini, perlu kita apresiasi dan menjadi pemacu kerja mesin birokrasi NTB
ke depan.
Menetapkan angka 2 persen bahkan 5 persen bukanlah hal
yang sulit. Namun tetap perlu realistis, karena ketika pencapaian jauh dari
yang diharapkan akan menjadi boomerang bagi pemerintah daerah. Integrasi
ekonomi yang kita hadapi sekarang, menyebabkan pemerintah daerah sangat kecil
berkontribusi dalam menentukan fluktuasi angka miskin dan tidak penduduknya
sendiri.
Penentu
Kemiskinan
Sebelum memutuskan peningkatan target penurunan angka
kemiskinan, sebaiknya kita perkuat dahulu instrument-instrumen yang digunakan
untuk mencapai target itu. Ketika hanya memasang target namun instrumennya
seperti pesawat tanpa awak (auto pilot), rasa-rasanya kurang realistis dan
tidak akan berubah posisi kemiskinan kita.
Kita mesti paham, bahwa peran kondisi dan kebijakan
eksternal NTB sangat kuat menciptakan kemiskinan. Anjloknya bursa saham Amerika
dan Eropa misalnya, akan berdampak pada keterpurukan Indonesia. Sakitnya
Indonesia secara nasional akan berdampak pada NTB. Belum lagi
kebijakan-kebijakan liberal pemerintah pusat, dampaknya akan terasa oleh
masyarakat daerah.
Rencana pemerintah ke depan yang akan kembali menaikan
harga BBM dan gas Elpiji menjadi ancaman serius terhadap upaya penurunan
kemiskinan. Setiap ada kenaikan harga permanen, akan muncul keseimbangan
(equilibrium) ekonomi baru. Ketika harga naik (inflasi tinggi), maka standar
hidup ekonomi tentu akan meningkat. Pada posisi ini banyak masyarakat
terjerembab dalam lubang kemiskinan, karena tidak bergeser pada keseimbangan
baru. Sehingga, masyarakat yang berada pas pada garis kemiskinan atau sedikit
di atasnya, menjadi penghuni di bawah garis kemiskinan.
Tugas pemerintah daerah adalah mendorong masyarakat
untuk turut ikut pada posisi equilibrium yang baru itu. Masalahnya, lagi-lagi pemerintah tidak punya
cukup instrument untuk mendorong masyarakatnya pada posisi tersebut.
Liberalisasi ekonomi dewasa ini menyebabkan penentu hidup masyarakat kita telah
diserahkan pada mekanisme pasar. Ketika pasar menganggap daerah ini
menguntungkan maka akan menjadi muara modal dan segala turunannya, bila tidak
maka NTB tidak akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Mengatasi kemiskinan, tidak bisa mengadalkan
hibah-hibah, kompensasi BBM dan sejenisnya. Tapi instrument yang paling utama
adalah tersediannya lapangan pekerjaan. Hibah-hibah bila dibenturkan dengan teori
konsumsi Keynes hanya bersifat sebagai outonomous yang mendorong konsumsi
sesaat, bukan meningkatkan disposable income yang berasal dari peningkatan
pendapatan.
Namun, sisi lain pemerintah tidak mungkin membuka
lapangan pekerjaan secara memadai karena liberalisasi itu, maka dengan
kebijakan-kebijakannya pemerintah diharapkan mendorong untuk tumbuh lapangan
kerja baru. Sehingga, sifatnya hanya sekedar memfasilitasi, mengkordinasi dan
menstimulasi munculnya usaha baru.
Berpikir
Optimis
Sama halnya dengan Gubernur, Penulis juga cendrung
optimis kalau kita bisa menaikan target penurunan kemiskinan ke depan. Dengan
catatan segala potensi kita keluarkan semua, terutama menghadapi moment-moment
perdagangan ke depan.
Untuk kesekian kalinya penulis katakan diberbagai kesempatan
bahwa MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) akan menjadi peluang sekaligus tantangan
bagi kehidupan ekonomi kita ke depan. Dengan economics of scale yang semakin meluas akan banyak menyerap
lapangan kerja baru, sehingga jumlah tenaga kerja menjadi lebih luas. Namun
belum tentu dirasakan oleh pelaku usaha di daerah, karena mereka harus bersaing
dengan rekannya dari Negara lain.
Untuk dipahami, Indonesia menjadi surganya pasar ASEAN
bahkan di dunia. Dalam konteks MEA, beberapa Negara ASEAN jauh-jauh hari telah kursus
bahasa Indonesia untuk menghadapi MEA. Mereka telah pasang target, bahwa
Indonesia adalah tempat mereka tinggal dalam kerangka MEA.
Ada beberapa hal yang perlu didorong ke depan, pertama
percepat terbangunnya struktur dan infrastruktur kawasan ekonomi khusus
Mandalika, kedua, buatkan blue print kawasan Rinjani sebagai calon geopark
internasional dan kawasan tambora sebagai laboratorium alam. Ke tiga,
menyiapkan blue print perdagangan daerah menghadapi MEA, ke empat memfasilitasi
terbentuknya sentra-sentra industry UMKM dan identifikasi berbagai keunggulan
comparative produk asli yang kita punya.
Sebagai penutup, Penulis ingin dorong Gubernur untuk
mulai memperkokoh formasi birokrasi yang daerah ini punya bila ingin
memenangkan persaingan dan menurunkan kemiskinan. Ketika membaca media bahwa
Gubernur telah memerintahkan masing-masing SKPD menyusun laporan perkembangan kegiatan
adalah langkah yang sangat positif. Penulis angkat topi untuk itu. Bila segala
perangkat sudah dikerahkan, insya Allah angka penuruan kemiskinan 2 persen
pertahun bukan hal sulit untuk digapai. (Sumber: SuaraNTB)
No comments:
Post a Comment