Sunday, 12 October 2014

Pro Pasar Vs Pro Rakyat: Tantangan Jokowi

Menanggapi Anjloknya Rupiah terhadap Dollar AS, Presiden terpilih menjelaskan bahwa kondisi politik menjadi penyebab terpuruknya rupiah. Kita bisa maklumi, kondisi politik besar kecilnya tetap berdampak pada pergerakan dan keputusan pasar, walaupun dibantah oleh Bank Indonesia dan bantahan keras oleh Hasyim (adik kandung Prabowo Subianto)
Pernyataan ini memberi sinyal, bahwa kita harus menjaga kenyamanan pasar (market friendly) dengan tetap menjaga stabilitas politik.

Sisi lain, Jokowi selalu mengatakan apapun yang terbaik kita lakukan demi rakyat, kita berada dibalik rakyat, bekerja untuk rakyat. Sinyal yang diberi Jokowi adalah rakyat harus sejahtera, rakyat harus tercukupi ekonominya dan rakyat harus tumbuh dari keterpurukan dan seterusnya. Ini adalah langkah baik, bahkan mulia.

Jokowi berharap pasar dapat dilayani, sekaligus rakyat dapat disejahterakan. Pertanyaannya adalah ketika kita berharap market friendly apakah sejalan dengan keinginan dan kepentingan rakyat secara rill? Apakah kebijakan pro rakyat tidak saling bertabrakan dengan kebijakan pro pasar?

Salah satu UU yang membuat asing berbunga-bunga “market friendly” adalah UU kepemilikan asset asing di tanah air yang dapat mencapai 100 persen. KMP (Koalisi Merah Putih) yang menguasai parlemen terang-terangan mengkampanyekan akan merevisi seluruh UU yang tidak pro rakyat (jadi, pro pasar tidak sama dengan pro rakyat). KMP terlihat “sedikit” tidak pro pasar dalam hal ini.

Keinginan KMP tentu menjadi tantangan bagi Pemerintahan Jokowi-JK. Jokowi-JK tidak mungkin punya amunisi yang cukup menghadapi pelarian modal asing dalam jangka pendek ketika benar-benar KMP mengubah secara drastis aturan main pasar dalam negeri. Ketidakstabilan makroekonomi akan sulit dihindari dan akan menghantam program-program ekonomi eksekutif. Lebih-lebih ekonomi dunia semakin membaik, investor akan lebih nyaman berada di AS dan Eropa dari pada di emerging market.

Ketika Jokowi memutuskan akan kembali menaikan harga BBM. Jokowi akan dicap sebagai orang yang pro pasar dari pada pro rakyat. Lebih-lebih ketika oposisi menyimpan isu ini sebagai amunisi untuk membuktikan pada rakyat bahwa mereka memang pro rakyat dengan melakukan pertentangan dan penolakan atas keinginan itu (menaikan BBM).
Pasar merespon postif keinginan menaikan BBM, namun tidak bagi rakyat. Masih banyak alternative lain mengurangi penggunaan BBM, pertama mewajibkan kendaraan pribadi menggunakan pertamax, kedua, mengurangi produksi kendaaraan bermotor atau ketiga menaikan pajak kendaraan bermotor 2-3 kali lipat. Apa berani dilakukan? Jawabannya tidak, kenapa? Karena tidak pro pasar, koorporasi besar akan hengkang bahkan gulung tikar di tanah air.


Tantangan terbesar Jokowi-JK kedepan adalah menenangkan pasar yang beberapa tahun belakang ini lenggang kangkung di tanah air, sekaligus mensejehterakan rakyat secara nyata. Sumber tantangan secara kentara adalah KMP, sebagai oposisi pemerintahan Jokowi-JK. Bila KMP terus mengkampanyekan untuk mengusik pasar dengan merubah regulasi secara nyata, maka disinilah awal malapetaka jangka pendek. Walau jangka panjang itu adalah langkah yang baik.

No comments:

Post a Comment

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB

EKSPOS RENCANA PENYUSUNAN MASTER PLAN EKONOMI GARAM NTB DR. M FIRMANSYAH (DOSEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS) MENUNJU INDUSTRIALIS...