Menanggapi Anjloknya Rupiah terhadap Dollar
AS, Presiden terpilih menjelaskan bahwa
kondisi politik menjadi penyebab terpuruknya rupiah. Kita bisa maklumi, kondisi
politik besar kecilnya
tetap berdampak pada pergerakan dan keputusan pasar, walaupun dibantah oleh
Bank Indonesia dan bantahan keras oleh Hasyim
(adik kandung Prabowo Subianto)
Pernyataan ini memberi sinyal, bahwa kita
harus menjaga kenyamanan pasar (market
friendly) dengan tetap menjaga stabilitas politik.
Sisi lain, Jokowi selalu mengatakan apapun
yang terbaik kita lakukan demi rakyat, kita berada dibalik rakyat, bekerja
untuk rakyat. Sinyal yang diberi Jokowi adalah rakyat harus sejahtera, rakyat
harus tercukupi ekonominya dan rakyat harus tumbuh dari keterpurukan dan
seterusnya. Ini adalah langkah baik, bahkan mulia.
Jokowi berharap pasar dapat dilayani,
sekaligus rakyat dapat disejahterakan. Pertanyaannya adalah ketika kita
berharap market friendly apakah
sejalan dengan keinginan dan kepentingan rakyat secara rill? Apakah kebijakan
pro rakyat tidak saling bertabrakan dengan kebijakan pro pasar?
Salah satu UU yang membuat asing berbunga-bunga
“market friendly” adalah UU
kepemilikan asset asing di tanah air yang dapat mencapai 100 persen. KMP
(Koalisi Merah Putih) yang menguasai parlemen terang-terangan mengkampanyekan
akan merevisi seluruh UU
yang tidak pro rakyat (jadi, pro
pasar tidak sama dengan pro rakyat). KMP terlihat “sedikit” tidak pro pasar
dalam hal ini.
Keinginan KMP tentu
menjadi tantangan bagi Pemerintahan Jokowi-JK.
Jokowi-JK tidak mungkin punya
amunisi yang cukup menghadapi pelarian modal asing dalam jangka pendek ketika
benar-benar KMP mengubah secara drastis aturan main pasar dalam negeri.
Ketidakstabilan makroekonomi akan sulit dihindari dan akan menghantam
program-program ekonomi eksekutif.
Lebih-lebih ekonomi dunia semakin membaik, investor akan lebih nyaman berada di
AS dan Eropa dari pada di emerging market.
Ketika
Jokowi memutuskan akan kembali menaikan harga BBM. Jokowi akan dicap sebagai orang
yang pro pasar dari pada pro rakyat. Lebih-lebih ketika oposisi menyimpan isu
ini sebagai amunisi untuk membuktikan pada rakyat bahwa mereka memang pro
rakyat dengan melakukan pertentangan dan penolakan atas keinginan itu (menaikan BBM).
Pasar merespon postif keinginan menaikan BBM,
namun tidak bagi rakyat. Masih banyak alternative lain mengurangi penggunaan
BBM, pertama mewajibkan kendaraan
pribadi menggunakan pertamax, kedua,
mengurangi produksi kendaaraan bermotor atau ketiga menaikan pajak kendaraan bermotor 2-3 kali lipat. Apa berani
dilakukan? Jawabannya tidak, kenapa? Karena tidak pro pasar, koorporasi besar
akan hengkang bahkan gulung tikar di tanah air.
Tantangan terbesar Jokowi-JK
kedepan adalah menenangkan pasar yang beberapa tahun belakang ini lenggang
kangkung di tanah air, sekaligus mensejehterakan rakyat secara nyata. Sumber
tantangan secara kentara adalah KMP, sebagai oposisi pemerintahan Jokowi-JK.
Bila KMP terus mengkampanyekan untuk mengusik pasar dengan merubah regulasi
secara nyata, maka disinilah awal malapetaka jangka pendek. Walau jangka
panjang itu adalah langkah yang baik.
No comments:
Post a Comment